Credit: youtube.com |
Di dalam video tersebut, Logan Paul menemukan badan korban bunuh diri di dalam hutan Aokigahara
saat sedang vlogging. Setelah menemukan mayat gantung diri, Logan Paul kemudian
berkata bahwa aksi bunuh diri dan sifat depresi merupakan masalah yang serius.
Setelah video tersebut diunggah ke Youtube pada tanggal 31 Desember 2017 lalu,
Logan Paul menerima kritik di dunia maya karena mengeksploitasi korban aksi
bunuh diri sebagai clickbait untuk mendapatkan views. Video tersebut seketika
mendatangkan kontroversi secara online mengenai bagaimana Logan Paul meremehkan
isu bunuh diri demi menaikan karirnya sebagai seorang Youtuber.
Akun Twitter milik Youtube
memberikan pernyataan pada 9 Januari 2018 bahwa mereka menganggap video
tersebut tidak dapat ditolerir dan telah melakukan aksi tindak lanjut dengan menghapus
video kontroversial oleh Logan Paul. Walau begitu, banyak netizen yang
mengkritisi pernyataan ini dan mengetakan bahwa ini adalah sebuah kebohongan
karena Logan Paul sendiri yang menghapus video tersebut dan Youtube lah yang
pertama kali membiarkan video tersebut masuk ke bagian "Youtube Trending".
Youtube kemudian
mematikan fitur pengiklanan pada akun Logan Paul pada 9 Februari
2018 setelah melihatnya mengunggah sebuah video dimana dia menyetrum
seekor tikus mati.
Tempat dibuatnya vlog Logan Paul, Aokigahara, adalah sebuah hutan seluas 30 kilometer persegi yang
berlokasi di sisi barat laut Gunung Fuji.
Aokigahara disebut
sebagai tempat bunuh diri paling terkenal di Jepang. Popularitasnya mendorong
pemerintah Jepang untuk menaruh papan di depan jalan masuk hutan tersebut yang
memerintahkan pengunjung untuk mencari pertolongan kepada teman dan sanak
saudara serta memikirkan perbuatan yang akan mereka lakukan.
Sejak 1970, setiap
tahun selalu dilakukan pencarian korban bunuh diri di hutan Aokigahara oleh
pihak polisi, sukarelawan dan jurnalis yang mengunjungi.
Hutan Aokigahara
merupakan hutan yang dihantui menurut mitologi Jepang. Walaupun hutannya tidak
luas, padatnya pepohonan dan kurangnya pencahayaan membuat pendaki dan
pengunjung mudah tersesat.
Menurut mitologi Jepang, jika seseorang meninggal
dengan perasaan tidak tenang karena emosi yang tinggi seperti amarah atau
kesedihan, jiwa mereka tidak bisa meninggalkan dunia ini dan akhirnya berkelana,
menghantui siapapun yang ditemuinya. Hantu-hantu ini dinamakan "Yurei".
"Yurei" tidak seperti hantu dalam mitologi barat dimana mereka menginginkan sesuatu
yang spesifik, "Yurei" hanya ingin urusan mereka sebelum meninggal diselesaikan
agar mereka bisa istirahat dengan tenang. Masyarakat Jepang
menganggap bunuh diri sebagai masalah biasa seperti sebagian besar dunia dan
pemerintahnya telah menginvestasikan sejumlah besar sumber daya untuk
mengendalikan tingkat bunuh diri.
Namun, ada "dukungan budaya" yang
cukup besar terhadap aksi bunuh diri yang telah meningkatkan aksi tersebut melalui
pengalaman budaya dan sosial yang umum terjadi pada banyak orang Jepang. Sikap masyarakat terhadap aksi bunuh diri bisa dibilang “toleran" dan dalam banyak kejadian,
bunuh diri dipandang sebagai tindakan yang bertanggung jawab secara moral.
Toleransi budaya ini mungkin berasal dari fungsi bunuh diri disejarah militer
Jepang. Di era feudal Jepang, bunuh diri terhormat (seppuku) di antara Samurai
(pejuang Jepang) dianggap sebagai aksi yang dibenarkan atas kegagalan atau
kekalahan yang tak terelakkan dalam pertempuran.
Secara tradisional, seppuku
bertujuan untuk melepaskan jiwa Samurai kepada musuh dan dengan demikian menghindari
eksekusi yang tidak terhormat ditangan musuh. Saat ini, bunuh diri juga
disebut sebagai hara-kiri.
Toleransi budaya untuk
bunuh diri di Jepang juga bisa dijelaskan dengan konsep Amae, kebutuhan
untuk bergantung dan diterima oleh orang lain. Bagi orang Jepang, penerimaan
dan kecocokan sosial dinilai lebih tinggi dibanding nilai individualitas
seseorang.
Sebagai hasil dari perspektif tersebut, nilai diri seseorang diukur dari bagaimana
orang lain menilai sesamanya. Pada akhirnya, ini dapat menyebabkan konsep diri
yang rapuh dan kemungkinan pertimbangan bunuh diri meningkat ketika seseorang
merasa terasing.
Secara keseluruhan,
perhatian masyarakat modern Jepang tentang tingkat bunuh diri yang meningkat
cenderung dilihat sebagai isu sosial dan bukan sebagai masalah kesehatan
masyarakat. Perbedaannya di sini adalah bahwa budaya Jepang menekankan ketidaksesuaian
dalam masyarakat sebagai faktor yang lebih besar dalam keputusan untuk
melakukan bunuh diri dibanding kondisi psikologis individual.
Selain itu,
stigma negatif seputar perawatan kesehatan mental masih ada di Jepang. Dengan demikian,
semakin ditekankan pada reformasi program sosial yang berkontribusi terhadap
stabilitas ekonomi kesejahteraan daripada menciptakan layanan kesehatan mental
tertentu.
Maka dari itu Jepang
lebih menekan perubahan program sosial yang dapat berkontribusi terhadap
stabilitas ekonomi daripada membuat pelayanan kesehatan mental.
Sumber: aokigaharaforest.com
Penulis: Ariabagas
Editor: Nabilla
Ramadhian
Komentar
Posting Komentar