![]() |
Museum Keprajuritan, museum yang cukup
megah namun sepi dikunjungi masyarakat (photo by Nursita Sari)
|
Empat orang remaja duduk bersantai di atas
Kapal Banten berwarna cokelat. Mereka tampak menikmati mie instan dalam kemasan
yang baru saja dibeli dari penjual di kapal. Dua pasang muda-mudi itu baru saja
selesai berwisata sejarah di Museum Keprajuritan, Taman Mini Indonesia Indah,
Sabtu (6/12).
Kapal Banten yang mereka naiki merupakan satu
materi yang dipamerkan di Museum Keprajuritan. Selain itu, ada pula Kapal
Phinisi dari Bugis. Kedua kapal itu berada di halaman depan museum yang
dikelilingi danau buatan dengan dermaga mini. Sayangnya, danau itu surut.
Tinggi airnya hanya sebetis anak-anak yang tampak bermain di sana.
Selain empat orang remaja itu, di lantai 2
museum tampak ibu-ibu bersama anak-anak mereka mengamati satu per satu koleksi
pameran, seperti diorama, replika senjata dan meriam, panji-panji pertempuran,
formasi tempur, serta pakaian prajurit tradisional saat bertempur. Melalui
materi-materi yang dipamerkan di sana, anak-anak belajar mengenal sejarah dan
para prajurit yang berjuang melawan penjajah kala itu. Sesekali mereka berlari
dan berteriak. Teriakan anak-anak itu menggema ke seluruh ruangan karena
keadaan museum yang sepi pengunjung.
Selain sepi, Museum Keprajuritan pun
terbilang minim perawatan. Sepanjang lorong lantai 2 museum tidak memiliki
pencahayaan yang terang, hanya menggunakan lampu temaram berwarna oranye.
Relief-relief di dinding luar tampak tak terawat dan beberapa diantaranya
rusak. Banyak pula sampah yang terdapat di danau yang mengelilingi bangunan
segi lima ini.
Dari luar, bangunan ini tampak megah.
Desainnya dibuat menyerupai benteng klasik abad ke-16. Arsitektur benteng
persegi lima ini menggambarkan negara kepulauan Indonesia. Gerbang utama museum
terbuat dari kayu besar dan tinggi. Seluruh dinding museum pun dibiarkan tidak
dicat. Seluruh desain ini sengaja dibuat agar pengunjung dapat merasakan kesan
zaman dahulu di dalam museum.
“Udah lama, cuma gak dicat aja, biar
kelihatan kesan-kesan sejarahnya dan nunjukkin
kuno,” ujar Dadang, salah satu pengelola museum.
Menurut Dadang, jumlah pengunjung tidak
selalu sama setiap harinya. Museum akan ramai jika ada pentas yang digelar di
panggung terbuka di tengah benteng itu. “Ya
kadang rame kadang sepi, namanya juga
museum,” paparnya.
Menurut pengakuannya, sampai pukul 11.00
Sabtu itu museum masih ramai karena ada pentas seni. Setelah pentas selesai,
museum pun kembali sepi. Memang, saat waktu menunjukkan pukul 12.15, museum itu
tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang berkunjung, ditambah para pekerja
yang sedang melakukan renovasi atap panggung terbuka.
Sepanjang tahun 2008 saja, pengunjung Museum
Keprajuritan hanya berjumlah 32.745 orang dari total 4.174.020 pengunjung
museum di Indonesia tahun itu. Di tahun 2007 dan 2006, jumlah pengunjung
sebanyak 31.527 dan 28.681. Jumlah pengunjung memang meningkat setiap tahunnya,
namun peningkatannya tidak terlalu signifikan. Menurut Dadang, hal ini terjadi
karena biasanya pengunjung hanya sekali datang ke museum. “Sekali datang ke
sini biasanya udah,” ujarnya.
Museum seluas 5.500,7 meter persegi yang berdiri
di atas lahan 4,5 hektar itu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 5 Juli
1987. Namun, baru 5 tahun yang lalu museum ini direnovasi agar
dinding-dindingnya tidak mudah terkena lumut saat hujan tiba.
Museum ini dibangun dengan tujuan sebagai
tempat melestarikan dan memberikan rekam jejak sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sejak abad ke-7 hingga abad ke-19. Hanya dengan membayar tiket 2500
rupiah, pengunjung bisa mengetahui informasi perjuangan para prajurit untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sayangnya, tidak banyak
masyarakat yang datang berkunjung ke sini setiap tahunnya. Pada 2008 saja,
museum ini hanya menyumbang 0,78 persen dari total pengunjung di tahun itu.
Komentar
Posting Komentar