![]() |
Foto oleh Nur Azizah |
Arthur (17 tahun) adalah seorang mahasiswa semester 4. Setiap harinya, ia suka menghabiskan waktu untuk bermain game hingga lebih dari 4 jam.
“Pulang dari kampus gue pasti main game. Kalau ditanya berapa lama sehari main game ya 6 sampai 8 jam gue pasti main sampai begadang, kadang tidur cuma 2 jam itu engga apa-apa yang penting gue engga stres gitu, kadang engga tidur juga besoknya ngampus lagi” ujar Arthur sambil duduk berhadapan dengan laptopnya di kampus Universitas Bakrie, Kamis (13/04/2017).
Kegemarannya pada game bukanlah tanpa alasan, pria kelahiran tahun 1999 tersebut merasa bahwa dirinya kurang kasih sayang terutama dari keluarganya. Arthur yang saat itu memakai baju merah berkerah dipadukan dengan jaket abu-abu duduk di sudut kanan kelas. Ia menceritakan sedikit tentang keluarganya dengan sambil tersenyum tipis bahwasanya bentuk perhatian yang diberikan oleh orang tuanya tidaklah dipenuhi dengan baik. Arthur merasa tidak dihargai dirumah, oleh karena itu ia memilih game sebagai media pelarian dari kehidupannya.
“Kalo game itu ada dunianya gue pengen di dunia game aja ga usah di dunia nyata, kalo gue bilang sih gitu soalnya game itu bisa bikin gue engga stres, mungkin gue kalau di kampus sering ketawa-ketawa cuma sebenernya gue stres makanya gue ketawa-ketawa,” imbuhnya masih dengan menyiratkan senyum.
Menurut Caplan, Williams dan Yee (2009), dalam Blinka & Mikuska (2014), menemukan bahwa kecenderungan seorang gamers menjadi kecanduan game (game addiction) karena kesepian yang sebagai single predictor, diikuti dengan perasaan introvert dan depresi. American Psychiatric Association (APA)mengelompokkan bahwa kecanduan game sebagai salah satu manifestasi dari gangguan mental “Disorder Gaming Internet” (DGI) dengan ciri utamanya adalah partisipasi menetap dan terus menerus dalam game komputer, terutama jenis permainan kelompok, untuk waktu yang sangat lama.
Kisah lain datang dari pria bernama Mohammad Rafi (21 tahun) seorang mahasiswa semester 6 disebuah universitas swatsa di Cirebon. Rafi mulai kecanduan bermain game sejak SMP lewat game Point Blank. Melalui voice note WhatsApp, Rafi mengatakan rekor paling lama dalam bermain game yang pernah dilakukannya adalah 18 jam tanpa henti. Menurutnya, hal terpenting dalam game online yang dimainkannya yaitu dengan mengikuti event pada game tersebut, bahkan setiap hari selama 3 bulan ia selalu terjaga di tengah malam demi mengikuti event tersebut.
“Kalau gamenya lagi ngadain event buat dapetin hadiah apa gitukan itu wajib dapetin, dibela-belain bangun jam 3 pagi. Eventnya ada juga yang diwaktu loh, cuma dibuka dijam-jam tertentu gitu kan jadi harus siap kapanpun tuh, kaya jam 3 pagi tiap hari bangun selama tiga bulan,” ujarnya dengan nada semangat.
Banyak penelitian melaporkan, pemain game online yang mengalami kecanduan internet bermain menggunakan waktu lebih dari 4 (empat) jam setiap hari. Durasi waktu yang digunakan juga semakin lama akan semakin bertambah agar individu mendapatkan efek perubahan dari perasaan. Di mana setelah bermain internet atau game online individu merasakan kenyamanan dan kesenangan. Sebaliknya, individu biasanya akan merasa cemas atau bosan ketika menunda atau menghentikan kebiasaan bermain game online.
Baik Arthur maupun Rafi memiliki kebiasaan yang sama sebagai seorang yang menggilai game. Ketika merasa stres dan butuh hiburan untuk menenangkan pikiran, mereka melimpahkan pada game. Arthur mengatakan bahwa dirinya merasa lebih ceria dan tidak emosi setelah memainkan game. Kemudian, tidak jauh berbeda dengan Arthur, Rafi pun menjadikan game sebagai media pelarian dari penatnya tugas dan masalah di kehidupan sehari-hari. Kuota internet bukan hal yang terlalu dipikirkan jika itu untuk game.
Perbedaan antara Arthur dan Rafi :
Jika dihadapkan pada situasi tidak bisa bermain game, Arthur akan tampak stres dan mudah emosi.
“Gue pernah laptop sama HP rusak, PS (PlayStation) lagi engga punya juga, gue ngerasa kaya stres gitu engga main game, soalnya biasanya gue main game jadi bawaannya itu bisa marah-marah terus sama orang. Merasa tertekan kaya gitu pernah gue marah-marah sama temen sama mamah.” Katanya dengan cara bicaranya yang santai.
Sementara itu, Rafi berusaha untuk lebih tenang meski merasa cemas saat tidak bermain game. Rafi beralasan tidak ingin mencampur adukkan dirinya di dunia nyata dengan dirinya di dunia game.
“Game itu sebagai tempat pelarian diri, itu benar. Tapi ya kaya punya kehidupan masing-masing gitu jadi ada Aku yang di dunia game dan Aku yang didunia nyata itu engga akan aku campur adukin gitu.” Ujarnya saat wawancara lewat voice note.
Hasil penelitian Yang (2005) pada siswa yang mengalami kecanduan internet di Korea menunjukkan bahwa siswa dengan kecanduan internet dengan mudah dipengaruhi oleh perasaan, emosional, kurang stabil, imajinatif, tenggelam dalam pikiran, mandiri, bereksperimen, dan lebih memilih keputusan sendiri (Cao & Su, 2006). Maka tidak heran jika anak dapat mengalami kecanduan karena pengaruh dari kekuatan game. Pemain seperti tidak dapat berhenti ketika sudah mulai bermain game. Kriteria ini sering disebut dengan tolerance.
Data Penggunaan Internet dan Game Online di Indonesia
Berdasarkan data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengumumkan bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Jika dibandingkan pada tahun 2014 sebesar 88,1 juta user, maka terjadi kenaikkan sebesar 44,6 juta dalam waktu 2 tahun (2014 – 2016).
Sementara itu, untuk pengguna online Newzoo pada 2015 merilis bahwa Indonesia menghasilkan pendapatan sebesar USD321 juta dari industri game online. Angka tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai peringkat dua Asia Tenggara dan peringkat 29 dari 100 negara. Pemain game online Indonesia didominasi oleh perangkat mobile sebanyak 52% dan sisanya menggunakan PC. Dalam hal demografi pengguna, 70% pemain game online di Indonesia berusia 13-17 tahun dan 18-24 tahun.
Disisi lain, survey Entertainment Software Association (ESA), terhadap orang tua sekitar 25% orang tua tidak membatasi penggunaan Internet oleh anak-anak mereka, dan 17% orang tua lebih khusus tidak membatasi waktu anak mereka bermain computer game dan video game.
Penulis : Nur Azizah
Editor : Helvira Rosa
Komentar
Posting Komentar