![]() |
Foto oleh Tias Prasetyo |
“Berapa kilo lagi?”
“Berapa menit lagi sampainya?”
“Sudah berapa jam kita jalan?”
“Ya Allah jalannya nanjak.”
“Alhamdullilah Turunan.”
“ASTAGFIRULLAH TANJAKAN LAGI.”
“Semangat!!!!” Tiba-tiba tiduran di tanah.
“Gak boleh ngeluh!!!!”
Tiba-tiba kepikiran pulangnya gimana.
Kira-kira begitulah obrolan kami selama perjalanan menuju Baduy.
Saya, Diah dan Nanda sudah lama merencanakan perjalanan ini. Akhirnya
sehabis UTS bulan Mei yang lalu kami langsung meluncur mengunjungi suku yang
masih berpegang teguh pada budayanya.
Perjalanan dimulai saat kami berkenalan dengan teman-teman yang akan mengikuti
perjalanan dua hari ini. Saya merasa canggung, selain karena kami belum saling
kenal, ternyata hanya kami bertiga yang masih kuliah sedangkan yang lainnya
adalah pekerja.
Sekitar pukul tujuh pagi, berangkatlah kami berdelapan menggunakan commuter line seharga Rp 5.000 dari
Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkas Bitung. Kami gunakan waktu dua jam
di kereta untuk istirahat karena setelah ini, perjalanan yang sesungguhnya akan
dimulai.
Pukul sepuluh pagi kami sampai di Stasiun Rangkas Bitung lalu melanjutkan
perjalanan dengan menyewa angkot. Selama dua jam kami saling berceloteh penuh
tawa hingga mengalahkan rasa mual akibat jalan berkelok dan berbatu sehingga
membuat diri kami terguncang dari kursi.
Pukul dua belas siang kami tiba di Desa Ciboleger. Desa ini bisa dibilang
perbatasan antara warga “biasa” dan suku Baduy Luar. Disini kami berkenalan
dengan Kang Jayadi, warga Baduy Luar, dan Pak Yasrib warga Baduy Dalam. Kang
Jayadi dan Pak Yasrib ini yang akan menjadi pemandu kami.
Suku Baduy terbagi menjadi dua, Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar
memperbolehkan warganya menggunakan kaos, celana jeans dan eletkronik seperti telepon
genggam, namun bukan smartphone,
melainkan “hp jadul” yang hanya bisa telepon dan SMS. Kalau kata Kang Jayadi
“yang penting fungsinya.” Aduh si akang 🙂.
Pukul satu siang kami memulai perjalanan yang sesungguhnya. Menelusuri
jalan perbukitan yang naik turun, kadang berbatu dan tanah licin karena sedang
diguyur hujan. Satu jam pertama kami masih ‘segar menggelegar’. Dua jam pertama
kami mulai sering istirahat tiduran di tanah. Nafas mulai tersenggal-senggal
kena senggol badan teman rasanya pengen
tampol aja. Tiga jam kemudian mulai banyak pertanyaan “berapa lama lagi?”
Mulai ngeluh “gak lagi-lagi deh.”
Tibalah kami di Tanjakan Cinta. Dalam hati berharap di atas sana ada
pangeran yang sudah menunggu kami. Oke positive
thinking tapi apa daya ternyata kami harus nanjak dengan kemiringan 75 derajat
sepanjang 200 meter. Tuh, namanya cinta memang sering nyakitin.
Perasaan tegang karena sebelah kanan adalah jurang, licin dan tidak ada
alat bantu sama sekali ditambah beban carier yang kami gemblok. Kami saling
bantu dengan mengulurkan tangan, di tanjakan ini kami merasakan artinya team
work.
Pak Yasrib tertawa melihat aksi kami melewati Tanjakan Cinta. Sebagai
warga Baduy Dalam tentu sudah menjadi rutinitas biasa menembus beribu kilo
meter dengan berjalan kaki bahkan bertelanjang kaki. Ini karena warga Baduy
Dalam berpegang teguh pada adat istiadat yang sudah turun temurun.
Tidak boleh menggunakan sandal, listrik, pergi ke sekolah formal dan
tidak boleh menggunakan angkutan umum. Pakaian yang digunakan pun mereka tenun
dan jahit sendiri dengan menggunakan alat tradisional. Warna pakaian hanya
boleh dua, hitam dan putih tak lupa ikat kepala sebagai ciri khas Baduy Dalam.
Lima jam sudah kami menempuh perjalanan berliku dengan pemandangan hijau
berkabut. Akhirnya sekitar pukul lima sore kami sampai di rumah Pak Yasrib.
Rumah panggung berukuran 8×8 meter berdinding bilik bambu dibangun tanpa paku,
hanya diikat dengan tali rotan.
Hampir tidak ada barang didalamnya selain peralatan dapur dari tanah
liat dan kain sebagai gorden pemisah antara ruang tungku dengan ruang tidur.
Semua rumah di desa ini mengusung desain yang sama, tidak lain karena memang
peraturan adat.
Badan lengket penuh keringat membuat saya harus segera mandi. Bukan
mandi di kamar mandi tapi mandi di semak-semak tanpa pintu hanya ditutupi
dedaunan dengan atap langit yang gelap karena hari sudah malam sekitar pukul
tujuh sore. Semak-semak itu berukuran 3×3 meter, kami mandi dengan perempuan
dari rombongan lain kira-kira berisikan 10 orang.
Kami saling bergantian untuk menjadi ‘pintu’. Aliran air tidak datang
dari pipa tetapi dari kayu yang dibentuk menyerupai pipa. Bak mandinya dibuat
menyerupai bath up hanya saja terbuat dari kayu. Hanya ada satu gayung terbuat
dari batok kelapa berukuran kecil berdiameter 10 cm.
Sungai adalah sumber kehidupan suku Baduy. Mandi, mencuci baju hingga
buang air besar pun mereka lakukan di sungai. Tidak ada jamban, turun langsung
ke sungai dan kotoran akan mengalir terbawa arus sungai.
“Hormatilah budaya lain” itulah kata yang harus kami amini kepada semua
budaya termasuk Baduy Dalam. Dilarang menggunakan elekronik dan aneka bahan
kimia seperti sabun. Baduy Dalam sangat menjaga kelestarian alam.
Malam tiba, kami bercengkrama dengan Pak Yasrib ditemani satu buah lampu
templok usang serta diiringi suara burung hutan. Pak Yasrib bisa membaca dan
menggunakan telepon genggam saat sedang berada di Baduy Luar.
Ia belajar membaca dari bungkus makanan dan meminjam telepon genggam
warga Baduy Luar untuk menghubungi wisatawan seperti kami saat mereka
berkunjung ke Jakarta untuk sekedar menjual hasil bumi. Baduy Dalam dan Luar
mendapatkan uang dari hasil ladang seperti beras, buah-buahan, madu dan yang
paling terkenal yakni “durian baduy”.
Sayang sekali saat kami disana sedang tidak musim. Orang tua megajarkan
anaknya berladang dari umur lima tahun. Perempuan suku Baduy sebagian ikut
turun ke ladang, sebagian lagi membuat kerajinan kain tenun yang akan dipakai
sendiri dan dijual ke wisatawan.
Saya penasaran mengapa tidak ada makam sepanjang perjalanan. Ternyata
Baduy Luar mengubur jenazah layaknya seorang muslim, dibungkus kain putih lalu
menguburkannya ke dalam tanah, namun tidak menggunakan nisan, langsung
ditanamkan pohon pisang.
Intinya, jika kita menemukan pohon pisang berarti itu adalah makam. Suku
Baduy menganut agama Sunda Wiwitan yang percaya dengan nenek moyang namun
toleransi suku Baduy begitu terasa. Mereka membersihkan tempat untuk kami
sholat.
Karena suku Baduy menolak segala bentuk modernisasi, urusan soal
obat-obatan juga terbuat dari alam. Tidak ada dokter untuk berobat dan juga
melahirkan. Disetiap desa terdapat satu orang tabib dan dukun beranak.
Baduy Dalam maupun Luar masih mengadut budaya perjodohan. Buat kamu yang
jomblo jangaan takut ga nikah kalau jadi warga Baduy karena dari umur belasan
mereka sudaah dikenalkan satu sama lain. Perjodohan bukan berarti harus selalu
nurut, Baduy juga sangat demokratis, mereka berhak menolak jika salah satu
pihak tidak suka maka akan dicarikan jodoh yang lain.
Pagi pun tiba, rasanya masih banyak yang saya ingin jelajahi dari suku
yang menjungjung tinggi adat istiadatnya. Namun, kami wisatawan hanya diizinkan
bermalam selama satu hari saja. Kami berkemas dan tak lupa membeli buah tangan
berupa madu dan gantungan kunci karya warga Baduy Dalam.
Rasa pegal dibetis masih belum hilang, namun kami harus melanjutkan
perjalanan pulang selama empat jam menuju akses jalan utama. Bayangkan empat
jam dengan kondisi tanah yang habis disiram hujan, licin, dan rute pulang kali
ini didominasi dengan turunana terjal. Kak Nunu teman seperjalanan kami hampir
saja masuk jurang karena tanah yang ia pijak tiba-tiba longsor. Untunglah kami
semua selamat.
Kalau Amerika punya Liberty, Jakarta punya Monas maka Baduy punya
Jembatan Akar sebagai landmar-nya. Tak lengkap rasanya jika tidak berfoto di
jembata unik ini. Unik karena jembatan ini terbuat dari akar pohon yang
menjalar dan menghubungkan dua daerah yang dipisahkan sungai dibawahnya.
Terlepas dari pemikiran kita sebagai manusia yang katanya ‘modern’, jauh
lebih berniali manusia yang melestarikan lingkungannya.
Penulis: Tias Prasetyo
Editor: Nabilla Ramadhian
Editor: Nabilla Ramadhian
Komentar
Posting Komentar