![]() |
(Doc: Rumah Pemilu) |
Sejak zaman orde baru yang di pimpin Soeharto , Pemilihan Umum (Pemilu)
di Indonesia sudah menganut asas “Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia” atau yang
biasa disingkat LUBER. Kemudian, di era reformasi ditambahkan azaz “Jujur dan
Adil” atau JURDIL. Maka, terbentuklah asas “LUBER JURDIL” yang diterapkan
sampai sekarang. Presiden pertama yang dipilih dengan asas “LUBER JURDIL” ini
adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di tahun 2004.
“Langsung” berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung
dan tidak diwakilkan. “Umum” berarti pemilihan umum dapat diikuti seluurh warga
negara yang sudah memenuhi hak menggunakan suara. “Bebas” berarti suara yang
diberikan merupakan hak dari pemilih dan bukan merupakan paksaan dari pihak
manapun. “Rahasia’ berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia
dan hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. “Jujur” berarti pemilihan umum
harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga
negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap
suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang
terpilih. Dan yang terakhir, “Adil” yang berarti perlakuan sama terhadap peserta
Pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi.
Setelah menelaah pengertiannya satu per satu, bukankah asas “LUBER
JURDIL” ini sudah sangat kuat untuk menggiring Pemilu yang demokratis? Namun,
mengapa banyak sekali konflik yang terjadi diantara para pemilih khususnya pada
saat Pilpres di lima tahun terakhir ini?.
Pada tulisan ini, saya hanya akan berfokus pada salah satu asas yang
menurut saya adalah “biang” utama munculnya konflik antar pemilih dalam Pemilu
di tahun-tahun terkahir ini. Yaitu, asas “Rahasia”.
Hilangnya asas “Rahasia”
Sebagai suatu fondasi utama Pemilu di Indonesia. Asas “LUBERJURDIL” sudah
cocok diterapkan di Indonesia. Pas, tidak lebih dan tidak kurang. Iya, pada
saat itu. Disaat masyarakat hanya menuntut untuk diberi hak memilih calon
pemimpinnya sendiri bukan para anggota MPR yang mereka pun belum tentu kenali.
Namun, sifat para pemilih saat ini sudah bergeser kearah eksistensi. Di kehidupan nyata, mereka dapat dengan
bebasnya mengatakan kepada siapa suaranya diberikan. Lebih mengerikan lagi
dunia maya. Media sosial juga tidak bisa anggap remeh dalam hilangnya azas
“Rahasia” ini. Di media sosial, para pemilih juga dapat dengan bebas
melontarkan cuitan yang menaikan
calon yang dipilihnya maupun menjatuhkan lawan calon pemimpin-nya. Mereka
bahkan bisa saling membalas cuitan yang
menurutnya tidak sesuai dengan ideologi yang dianutnya soal siapa calon
pemimpin terbaik.
Mengetahui kenyataan ini, Lalu bagaimana saya harus menyebutkan Asas
Pemilu di Indonesia? “LUBER JURDIL” atau
“LUBE JURDIL”?
Munculnya Blok-Blok
Area pertarungan citra calon pemipin di media sosial terbuka bebas dan
tanpa kontrol. Hal ini memunculkan adanya blok-blok diantara calon pemilih.
Misalnya saja pada Pilpres 2019 yang bahkan belum berlangsung. Masyarakat dari
yang dewasa sampai yang bahkan belum memiliki hak memilih seperti anak-anak,
ramai mengkampanyekan hastag-hastag
berbau politis. Bagi kontra Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo, mereka
menggunakan hastag “#2019GantiPresiden”. Namun, bagi para pro Jokowi, mereka
menggunakan hastag “#DiaSibukKerja”. Mereka menggunakan hastag-hastag ini dalam
setiap cuitan yang dibuatnya di media
sosial.
Dari yang tadinya hanya “perang cuitan” di media sosial, “perang” ini beralih ke dunia nyata. Ingatan kita
tentu masih segar ketika media ramai-ramai memberitakan soal kerusuhan yang
terjadi pada Car Free Day di Jakarta
pada 29 April 2018. Massa yang tergabung dalam dua kubu yang masing-masing
menggunakan kaus bertuliskan “#2019GantiPresiden” dan “#DiaSibukKerja” ini
bentrok. Dari yang awalnya hanya ajang eksistensi kaus, munculah aksi saling
ejek dan provokasi.
Bisa dilihat, area yang seharusnya bebas politik pun bisa tersentuh
kejadian semacam ini. Masyarakat dapat dengan bebas menunjukan siapa calon
pemimpin terbaik versi-nya dimanapun dan kapanpun.
Perselisihan dapat muncul bahkan hanya dari obrolan ringan. Keputusan
untuk tidak memberitahukan orang lain soal untuk siapa suara kita diiberikan
memang hanya dapat terjadi jika ada kesadaran dalam diri kita sendiri untuk
menghindari perselisihan. Pemerintah tidak dapat membuat aturan yang pasti
untuk menjaga asas “Rahasia” ini tetap kokoh karena sifatnya yang
individualistik.
Oleh karena itu, Yuk! hentikan hal kecil seperti memposting
status di media sosial soal “di blok mana saya berada” demi Pemilu yang lebih
damai.
Editor : Meidiana Aprilliani
Reporter : Meidiana Aprilliani
Editor : Meidiana Aprilliani
Reporter : Meidiana Aprilliani
Komentar
Posting Komentar