![]() |
(Sumber foto: Alinea.ID |
Keeksisan
media online di tengah masyarakat
membawa tanda ‘hari akhir’ untuk media cetak dan media massa terdahulunya.
Beralihnya para pencari berita ke media online,
menuntut jurnalisme online untuk
memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat akan informasi yang tidak diberikan
oleh media lainnya. Hal tersebut membuat
jurnalisme online dikenal dengan
kecepatannya dalam menerbitkan sebuah berita dan menyebarkan segala informasi
ke audiensnya.
Namun,
kecepatan yang dijunjung oleh jurnalisme
online ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana jika internet dan kecepatannya
justru membuat kualitas jurnalisme itu menjadi menurun? Apakah benar? Apakah
internet tidak bisa membuat jurnalisme menjadi lebih baik kualitasnya?
Keresahan ini menjadi alasan mengapa saya membuat tulisan ini.
Hari Akhir Media Cetak
Menurut
survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga pada
tahun 2017 penetrasi pengguna internet di Indonesia meningkat menjadi 143,26
juta jiwa atau sekitar 54,7 persen dari seluruh populasi rakyat Indonesia. Ini
meningkat dibanding dengan jumlah survei pada tahun 2016 yang hanya menyentuh
angka 132,7 juta jiwa.
Pertumbuhan
tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia semakin menggemari dan butuh
internet. Keadaan yang demikian membuktikan dunia online mampu mendapat hati di masyarakat Indonesia dan mulai
menggeser keberadaan media cetak.
Berdasarkan
hasil survei Nielsen pada tahun 2017, media cetak hanya menjadi pilihan kelima
masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan
penetrasi sebesar 8%. Sementara, urutan pertama ditempati televisi dengan 96%,
kemudian diikuti papan iklan di jalanan 52%, penggunaan internet sebesar 43%,
dan radio sebanyak 37%. Berarti pembaca media cetak hanya 4,5 juta jiwa dari
keseluruhan populasi di Indonesia.
Dengan
data tersebut, media cetak semakin tersudutkan. Perbincangan tentang ‘hari
akhir’ media cetak semakin marak di dunia jurnalisme. Terlebih dengan banyaknya
media cetak yang gulung tikar akibat tidak mampu bersaing dengan kemajuan
teknologi saat ini membuat media cetak semakin terpuruk. Kemudahan dan
kecepatan yang ditawarkan oleh media online
makin menutup pintu bisnis dunia percetakan. Seperti tabloid BOLA yang akan
mengeluarkan edisi terakhirnya di tanggal 26 Oktober 2018 sebelum akhirnya
benar-benar pamit.
Yang ditawarkan media online
Menjadi
media baru, media online memberi beberapa penawaran yang
bisa menjadi kelebihan dari media konvensional lainnya. Dalam buku yang
berjudul Mitos Jurnalisme karya Dudi Sabil Iskandar dan Rini Lestari,
disebutkan beberapa karakteristik media/jurnalisme online.
Pertama,
unlimited space. Media online menyediakan ruang yang luas untuk
setiap pembaca dalam memperoleh keingintahuannya yang tak terbatas. Kedua, audience control. Dalam jurnalisme online, pembaca bisa menentukan berita
atau informasi apa yang ingin dibaca. Ketiga, non-linearity. Pada media online,
satu berita dapat berdiri sendiri dan pembaca tidak harus membacanya secara
berurutan. Keempat, storage dan retrieval. Jurnalisme online bisa
bersifat “abadi”, karena kita bisa menyimpannya dan membaca ulang kapan saja di
mana saja. Kelima, immediacy. Ini
merupakan karakteristik yang sangat melekat pada jurnalisme online. Jurnalisme online menyajikan informasi secara cepat dan langsung.
Selain
yang sudah disebutkan dalam buku di atas, jurnalisme online juga menawarkan hubungan yang erat dengan pembaca. Dibanding
dengan media lainnya, di media online
terdapat satu ruang publik yang langsung bisa kita kunjungi pada kolom
komentar, misalnya.
Inovasi
yang diberikan media online sangat
wajar begitu cepat mendapatkan hati masyarakat. Di zaman yang semakin canggih,
kepraktisan adalah kunci utama yang dibutuhkan manusia. Media online dengan internetnya memberi
kepraktisan itu.
Keunggulan
yang ditawarkan internet, seharusnya menjadi satu titik cerah bagi umat
manusia. Di dunia jurnalisme, titik cerah ini dapat mempermudah proses
penyebaran berita dan informasi kepada khalayak. Tidak memerlukan biaya yang
mahal, hanya menggunakan sebuah platform,
seorang wartawan bisa langsung mengabarkan berita, baik berupa tulisan, gambar,
bahkan video sekalipun.
Kemudahan
akses internet dan media online
memungkinkan masyarakat awam pun bisa terlibat di dalam dunia jurnalisme.
Setiap pengguna media baru yang tersambung dengan internet, bisa langsung
menyebarkan informasinya dengan mudah dengan satu kali klik saja.
Lalu,
jika semua orang bisa membuat berita di media online, apa yang membedakan seorang jurnalis dengan masyarakat
awam? Bagaimana kualitas isi berita yang diberikan?
Turunnya kualitas jurnalisme di media online
Mengenai
model bisnis media online, mengutip
dari Josh James, pada tahun 2012, dalam buku berjudul Kualitas Jurnalisme Publik di Media Online: Kasus Indonesia oleh Ambard,
dkk. (2011: 3) yang mengatakan bahwa setiap menit muncul 571 situs baru di
internet. Sebagian dari situs tersebut merupakan situs pemberitaan online. Ini berarti begitu mudah untuk
menciptakan media pemberitaan sendiri.
Dalam
menjalankan situsnya, mereka saling berburu iklan. Tak terkecuali media/situs
pemberitaan. Iklan menjadi nyawa untuk industri ini. Permasalahan bisnis pada
media online, mempunyai hubungan erat
dengan produk jurnalistik wartawan. Ketika pemilik bisnis menginginkan
keuntungan iklan yang lebih, maka ada yang harus dikorbankan.
Mengutip
lagi dari buku Ambard (2011), dalam praktiknya, intensif yang diberikan kepada
jurnalis berkurang. Biaya untuk peliputan dikurangi, pola hubungan profesional
jurnalis dan kru media tidak lagi berbasis gaji, tetapi pada kontribusi jumlah
pemberitaan.
Meningkatnya
permintaan jumlah berita, menuntut wartawan harus kerja ekstra cepat bahkan
sampai mengabaikan kualitas produk jurnalistik itu sendiri. Membahas tentang
kualitas, wartawan pasti sudah hafal sekali dengan etika jurnalistik yang harus
dipegang teguh dalam melaksanakan pekerjaannya.
Namun,
dalam kenyataannya begitu marak media online
dengan wartawan ‘nakal’ yang hanya mengandalkan kecepatan pemberitaan. Begitu
banyak hoax dan berita yang ‘kurang
matang’ bertebaran, serta berita yang bertujuan menggiring opini publik ke hal
negatif.
Menurut
Anom (2011), kebebasan pers dibatasi dengan perundangan sehingga pemberitaan
dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini harus berlaku juga untuk media online, bukan hanya konvensional.
Sebenarnya, kualitas jurnalisme online
yang menurun akibat internet bukanlah kesalahan murni dari pelaku jurnalistik. Publisher atau pemilik media juga harus
berperan dengan produk jurnalistik yang dihasilkan agar tidak marak lagi
berita-berita ‘nakal’ dan ‘kurang matang’ dalam media pemberitaannya. Menurut
saya, seorang jurnalis tidak memandang media apa yang dipegangnya. Ketika jiwa
jurnalisme sudah dipegang teguh oleh dirinya, maka produk yang dihasilkan
adalah produk jurnalistik yang berkualitas. Karena pada dasarnya tidak ada
perbedaan prinsip membuat berita di media konvensional maupun media online.
Kesimpulan
Hadirnya
media baru yang membuka jalan bagi jurnalisme online merupakan sebuah titik cerah untuk manusia yang terus
mengalami perubahan di hidup ini. Jurnalisme online diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam memperoleh
informasi dan berita dengan cepat dan mudah.
Namun,
kemudahan tersebut memberi dampak dalam menghasilkan produk jurnalistik. Ketika
kebebasan media online menghasilkan
berita-berita yang hanya menarik pembaca tanpa memikirkan isi dari berita
tersebut. Berita bohong, topik-topik nyeleneh, dan judul clickbait menjadi kian marak. Hal tersebut mencoreng nilai-nilai
baik yang ditawarkan oleh jurnalisme online.
Apakah
semua jurnalisme online melakukan hal
demikian? Tentu saja tidak. Meski produk jurnalistik yang dihasilkan mulai
turun kualitasnya, bukan berarti jurnalisme online
tidak akan memperbaiki diri. Masih banyak wartawan yang bekerja di media yang
benar dan menghasilkan produk jurnalistik yang bermutu.
Untuk
wartawan, harus mengingat terus apa yang menjadi dasar etika dalam
pekerjaannya. Sehingga, wartawan dapat mengembangkan inovasi baru yang
ditawarkan internet dengan baik. Serta jika dilihat dari fenomena tersebut,
maka sebagai pembaca harus pintar-pintar memilah dan menganalisis setiap berita
atau informasi yang didapatkan. Lihat sumbernya, medianya, dan berita lain
dengan perspektif yang mungkin berbeda untuk menghindari berita bohong yang
dapat menggiring opini-opini.
Penulis:
Arinda Dediana
Editor:
Firly Fenti
Referensi
Ambard, K., Parahita, G., Lindawati, L., & Sukarno, A. (2018). Kualitas
Jurnalisme Publik di Media
Online: Kasus Indonesia. Jogjakarta: UGM
Press.
APJII. (2018, Maret 22). Buletin APJII. Dipetik Oktober 23,
2018, dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia:
https://apjii.or.id/content/read/104/348/BULETIN-APJII-EDISI-22---Maret-2018
Iskandar, D., & Lestari, R. (2016). Mitos Jurnalisme.
Jakarta: Penerbit Andi.
Juditha, C. (2013). Akurasi Berita dalam Jurnalisme Online. Jurnal
Pekommas , 145-154.
Nielsen. (2017, Juni 2016). Nielsen Press Room. Dipetik
Oktober 23, 2018, dari The Nielsen
Company:
https://www.nielsen.com/id/en/press-room/2017/MEDIA-CETAK-MAMPU-MEMPERTAHANKAN-POSISINYA.html
numpang promote ya min ^^
BalasHapusBosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*E*W*A*P*K
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)