![]() |
Doc: Google |
TOK! TOK! TOK!
Pintu kelas terdengar diketuk keras-keras. Guruku pun langsung beranjak menuju pintu dengan langkah tergesa. Begitu dibukakan, tampak seorang pria di sana. Postur tinggi tegap, dengan tubuh berukuran besar. Ia memakai setelan jas dan dasi hitam. Bahkan lengkap dengan kacamata hitam. Karena kacamata hitam tersebut, aku tidak bisa benar-benar melihat wajahnya. Hanya mulut yang terkatup rapat dan alis yang datar, membuat ekspresi yang jelas tidak terbaca.
Firasatku tidak enak.
Pria itu langsung saja berjalan masuk ke dalam kelas, tanpa menghiraukan guruku yang kebingungan. Saat ia berada di hadapan kami semua, aku baru bisa melihat ada dua koper hitam di masing-masing tangannya. Begitu dibuka, di dalamnya ada setumpuk kertas yang kelihatan seperti soal, kantung-kantung kain berwarna hitam, dan bando-bando berwarna merah. Pada saat guruku mencoba menarik pria ini keluar, ia diam saja. Hanya memasukkan tangannya ke saku jas—
Klik!
—Dan menodongkan pistol ke kepala guruku.
Guruku langsung jatuh pingsan ketakutan. Satu kelas diam gemetaran. Tanpa memedulikan keadaan, pria itu hanya menyimpan kembali pistolnya ke dalam saku jas, dan mengambil semua isi kopernya. Ia berkeliling membagikan lembaran soal, kantung hitam, dan bando merah pada semua siswa. Kemudian, ia kembali ke depan kelas sambil merogoh kantung jasnya. Kali ini, pria itu mengeluarkan sebuah tape recorder hitam, dan menyalakannya rekaman di dalamnya. Suara wanita dewasa yang berbicara dengan nada monoton terdengar dari sana.
Wanita dalam rekaman itu memberikan instruksi, bahwa singkatnya, kami sekelas diminta memakai bando merah, dan mengisi seribu soal ujian yang telah diberikan. Setiap orang mendapat enam puluh koin emas di dalam kantung yang dibagikan, dan tiap salah menjawab soal, koin yang dimiliki akan diambil satu buah. Namun, saat koin habis tapi jawaban yang diisi salah, lifespan hidup pengisinya akan terambil satu tahun. Lifespan masing-masing murid juga hanya dapat dilihat dengan kacamata milik pria misterius itu, yang mana katanya batas umur kami dapat dilihatnya dari bando yang kami pakai.
Untungnya, kami juga diberi penawaran, bahwa minimal, cukup ada satu orang saja yang perlu mengerjakan hingga selesai. Siswa yang lain juga boleh membantu satu orang yang dipilih menjadi perwakilan. Setelah itu, satu kelas akan dibebaskan untuk pulang ke rumah.
Sebagai orang yang... tidak punya semangat hidup, aku pun mengajukan diri untuk mengisi soal. Hitung-hitung membantu orang lain, dan kalaupun aku mati, setidaknya aku mati mencoba menyelamatkan mereka. Jadilah anak-anak kelasku bekerja sama membantuku menjawab.
Masalahnya, saat mengisi pertanyaan nomor dua ratus, ternyata jawabannya salah. Pria itu pun mengambil koin terakhir yang aku punya. Koin milik semua anak kelasku juga langsung ia ambil semuanya. Begitu diprotes ketua kelas, pria itu hanya menodongkan pistolnya, membuat kami semua tak punya pilihan lain selain diam dan aku hanya bisa terus mengerjakan.
Akhirnya, seribu soal terisi semua dan aku masih bernapas. Dengan wajah lelah yang bahagia dan kaki gemetar, kukumpulkan kembali soal tersebut kepada pria itu, yang langsung ia koreksi di tempat. Kami semua pun memandanginya dengan cemas, menunggunya selesai dan membiarkan kami pulang.
Namun, begitu pria itu selesai mengoreksi, ia malah diam. Kemudian berjalan mendekatiku dengan soal tersebut di tangannya. Tahu-tahu, ia membungkukkan diri dan menatap wajahku lekat-lekat, lalu perlahan memperlihatkan hasil koreksinya.
Dari seribu soal, jawabanku yang benar hanya tiga ratus.
Pria itu kemudian melepaskan kacamatanya, dan langsung memakaikannya padaku, lalu mengarahkan kepalaku ke arah anak-anak kelas. Di atas bando yang kami semua pakai, aku bisa melihat angka-angka warna merah bertuliskan lifespan hidup mereka. Ada yang bertuliskan [Umur 14 tahun, mati pada umur 64 tahun], ada yang [Umur 15 tahun, mati pada umur 95 tahun], dan lainnya. Kemudian ia menarikku ke cermin yang ada di belakang kelas, dan membuatku melihat pantulanku sendiri di sana.
[???]
Tidak ada apa-apa, hanya tanda tanya.
Pria itu memutar bahuku kembali menghadapnya, dan membuatku menatap... kedua lubang mata tanpa bola mata di dalamnya. Ia kemudian mengambil kembali dan segera memakai kacamatanya, lalu untuk pertama kalinya, ia bicara. Suaranya dalam dan berat serta bernada serius, tapi ada sedikit kebingungan yang terdengar di sana.
"Kamu salah menjawab tujuh ratus soal, dan kamu masih hidup. Kapan kamu mati juga tidak terdeteksi.... Kamu makhluk apa?"
Penulis: Annisa Aulia N. S
Komentar
Posting Komentar