Dita berlari-lari dari Mesjid ke kamar asramanya, kamar 103. Begitu sampai di sana, Dita langsung mendobrak pintu kamar membuat mereka yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing terkejut mendengar suara dobrakan pintu.
“Guys, guys!”
“Aduh—Dita! Kalau pintunya rusak bagaimana?!” Ucap Mita,
si ketua kamar asrama.
Yang diomelin hanya tertawa cengengesan.
“Kalian sudah dengar kan pengumumannya?” Ucap Dita
bertanya kepada teman-teman sekamarnya itu. Mereka pun mengangguk.
Pengumuman dari bagian informasi itu berisi bahwa sore
ini, tidak ada kegiatan apapun untuk semua santriwati sampai menjelang Isya
dikarenakan ustadz dan ustadzah akan mengadakan rapat bersama ketua pesantren
yang akan dimulai pada pukul empat sore nanti. Pun kegiatan sholat berjamaah
yang biasanya diwajibkan di Mesjid, kini semua santriwati wajib melaksanakan
sholat berjamaah di kamar masing-masing.
Pengumuman tadi tentu saja membuat seluruh santriwati
senang bukan main. Karena biasanya setelah sholat ashar, mereka masih ada kegiatan
selanjutnya yang wajib diikuti.
Ketika jam menuju tepat pukul lima sore, beberapa dari
anak-anak di kamar 103 mulai merasa bosan. Dita yang kala itu sedang mengunyah
cemilan milik Raya, bergegas pergi ke tengah ruangan memanggil teman-temannya
untuk bermain.
“Kita main donal bebek yuk!” Serunya mengajak semuanya.
Hampir dari seluruh penghuni 103 ini menerima ajakan
darinya, kecuali Mita.
“Main yang lain coba, Dit. Nggak boleh main donal
bebek di jam segini. Bentar lagi mau Maghrib.” Kata Mita menyuruh Dita untuk
ganti permainan, namun anak itu menolak. Lantas dibuatlah lingkaran besar yang
dipandu oleh remaja itu.
Ketika permainan hendak dimulai, Mita merasa ada yang menjanggal.
Akan tetapi dirinya mencoba menyingkirkan perasaan anehnya itu dengan
menyibukkan diri.
Saking mereka asyik menikmati permainan itu, tidak terasa
waktu sudah mengarah tepat pukul enam sore.
“Pak tani punya patung, jam dua belas jadi patung!”
DEP!
“AAAAAAAA!!!”
Seluruh santriwati menjerit ketakutan akibat lampu di
semua kawasan pesantren mendadak mati.
Tidak ada satu menit, lampu kembali menyala. Membuat
seluruh santriwati bernapas lega.
“Alhamdulillah~” Ucap semua santriwati di berbagai
tempat, kemudian melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
Namun berbeda dengan kamar 103. Mereka semua terdiam dan
terlihat bingung karena salah satu temannya yang masih berdiam seperti patung
dengan mata melotot.
“A-alfi . . .?” Panggil Dita seraya menjawil pundak
temannya yang bernama Alfiah itu.
Satu jawilan, dua jawilan, hingga tiga jawilan tidak ada
respon dari Alfi. Perempuan itu masih terdiam seperti patung.
“Biar aku yang panggil ustadzah.” Ujar Mita langsung
bergegas pergi menuju ruang kamar ustadzah.
==
Para penghuni kamar 103 duduk di lantai membentuk
lingkaran, tak lama kemudian ustdzah Ani, yaitu wali kamar 103 datang dan masuk
ke dalam kamar.
“Apa yang kalian lakukan sebelum kejadian Alfi ini
terjadi?” Tanya ustdzah Ani membuat suasana di kamar terasa tegang.
Dengan ragu-ragu Raya mengangkat tangannya, kemudian
mulai menjelaskan apa yang mereka lakukan tadi sore.
“Tadi itu, D-dita mengajak teman-teman untuk bermain
donal bebek, ustadzah . . . waktu permainan kedua berlanjut dan bilang jadi
patung, tiba-tiba lampu mati. Terus, waktu lampunya kembali menyala, Alfi masih
dalam posisi menjadi patung,” Ucapnya menjelaskan kepada Ustdzah Ani.
Beliau menghela napasnya. “Baiklah, ustadzah akan beri
peringatan untuk kalian semua. Jangan sekali-kali kalian bermain di waktu
menuju maghrib! Akibatnya akan seperti Alfi sekarang ini. Kerasukan,” Ujarnya
membuat semua santriwati kamar 103 tercengang.
“Ada jin laki-laki yang merasuki tubuhnya dan terobsesi
dengan Icha, anak kamar 105. Sampai sekarang, jin itu belum bisa dikeluarkan
karena dia terus menolak dan ingin bertemu dengannya.” Kata ustadzah Ani.
“Lalu, apa yang harus kami lakukan, ustadzah?” Tanya Raya
dengan raut wajah ketakutan.
“Untuk sementara ini, Alfi akan tidur di kamar keluarga
ustadz Sobri seraya membujuk jin itu untuk keluar dari tubuhnya. Kalian hanya
mengunci pintu kamar sebelum tidur demi menjaga keamaan.” Ujar beliau akhirnya,
lalu pergi meninggalkan kamar.
Mita bangun berdiri terlebih dahulu kemudian berkacak
pinggang dihadapan Dita.
“Sudah ku bilang, ganti permainan. Jadi gini kan
akibatnya,” Ucapnya sebal.
Anehnya, Dita hanya menunduk tidak merespon.
“Dit?”
“D-dita . . .?”
Sejenak ruangan menjadi sunyi, menunggu balasan dari
Dita. Tak lama kemudian, terdengar suara tawa cekikikan dari Dita seraya
mendongakkan kepala ke atas dengan mata melotot.
Seluruh anak kamar 103 keluar dari kamar dan bergegas
lari menuju kamar ustadzah untuk kembali memanggil ustadzah Ani.
Penulis: Fadhilla Yenasywaputri.
Komentar
Posting Komentar