Langsung ke konten utama

Catatan bagi Sarjana Baru: Setelah Ini “Ngapain"?

Suasana wisuda keempat Universitas Bakrie, Selasa (16/9), di Balai Sudirman, Jakarta.


Hari ini (16/9), kebetulan tepat bersamaan dengan wisuda ke-4 Universitas Bakrie. Sebanyak 305 mahasiswa “diketok palu” lulus dan berhak menyandang gelar sarjana oleh Rektor Universitas Bakrie, Prof. Ir. Sofia W. Alisjahbana, M.Sc., Ph.D. Bagi saya, yang amat membanggakan adalah 10 mahasiswa jurnalistik yang saya ajar ikut dalam wisuda tersebut. Mereka adalah mahasiswa angkatan pertama di Program Studi Ilmu Komunikasi yang mengambil peminatan Jurnalistik dan Media Massa. “Pecah telur” ceritanya.

Sebagai seorang pendidik tugas saya dan teman-teman dosen lainnya kurang lebih telah usai memberikan bekal kepada mereka agar siap menghadapi tantangan selanjutnya. Model-model pengajaran berbasis “experiential learning” sudah dihadirkan. Keterampilan “soft skill” telah berkali-kali dilatih dan terus diingatkan. Kini, tinggal menanti di masa “tunggu”, masa dimana apakah semua hal yang telah diajarkan kepada mahasiswa tersebut memang berguna bagi masa depan mereka. Indikatornya sederhana saja, apakah mahasiswa mampu menjadi manusia unggul yang sanggup bersaing mendapatkan pekerjaan sesuai bidang ataupun diluar bidang, atau bahkan menciptakan pekerjaan sendiri alias berwirausaha. Masa ini adalah masa yang meresahkan.

Saya termasuk mahasiswa yang tidak cepat lulus saat menempuh S1 dulu. Waktu yang saya butuhkan untuk lulus adalah lima setengah tahun. Saya lulus selama itu karena keasyikan bekerja sambil kuliah sebagai “broadcaster” di sebuah radio komersial di Jogjakarta sehingga skripsi yang awalnya saya targetkan selesai dalam 1 semester ternyata mundur menjadi 4 semester. Saat itu saya benci sekali jika ada pertanyaan seputar: “kapan lulus?”

Jika mendengar pertanyaan itu, rasanya ingin menghilang seketika seperti di film-film. Tapi apa mau dikata, memang nasib memilih lulus lama. Hingga pada akhirnya saya pun lulus.

Berikutnya, jika sudah lulus pasti akan muncul pertanyaan lain lagi: “kerja dimana?” Pertanyaan basa-basi yang buat pening jika tak siap menghadapinya. Untungnya, sebelum lulus, saya sudah bekerja sebagai profesional bahkan dapat tawaran pula bekerja di ANTV sebagai jurnalis. Jadi “pede” saja menjawabnya.Hehehe…

Cukup banyak mahasiswa yang sudah bekerja sebelum mereka lulus. Ini membahagiakan karena tak perlu waktu lama berada di masa “tunggu”. Namun bagaimana bagi mahasiswa yang tak seberuntung ini?


Sabar dan Terus Usaha

Bersabar adalah jawaban yang paling gampang disebutkan tapi sulit dilakukan. Bersabar bukanlah bersabar dengan tidak melakukan apa-apa, tapi terus berusaha sampai “darah penghabisan”. Tak perlu menunggu apakah sebuah perusahaan menawarkan lowongan, baru lamaran dikirimkan. Ada baiknya membuat daftar perusahaan yang menjadi target, lalu kirimlah lamaran yang “berkualitas” berisi portofolio terbaik dan jejak rekam aktivitas yang mumpuni sesuai bidang. Kirim terus, kalo perlu lebih dari sekali dengan jarak yang tak terlalu pendek. Semakin “menjual” kita, peluang panggilan akan semakin besar.

Berikutnya, hubungi kembali jaringan yang telah terbangun selama kuliah atau magang baik dari para dosen maupun profesional untuk melihat kemungkinan peluang pekerjaan. Jika ada, langsung minta petunjuk. Saya percaya, jika sejak awal kita mampu membangun dan memelihara jaringan, suatu ketika jika kita membutuhkannya, jaringan ini pasti akan membantu.

Jika semua hal di atas telah dilakukan, saatnya menunggu dan mempersiapkan diri. Saya sarankan, lakukanlah penantian dengan produktif. Artinya, lakukanlah pekerjaan sampingan atau “part time”yang syukur-syukur ada nilai uangnya agar secara psikologis semangat terus terjaga. Sementara uang dari hasil pekerjaan sampingan bisa menjadi modal untuk mengirim lamaran lagi, sekaligus modal jajan agar tidak menjadi beban bagi orang tua.

Atau, jika masih punya tabungan, pilih berwisata ke tempat yang diimpikan untuk “refreshing”. Asal siap-siap saja, ketika ada penggilan wawancara pekerjaan kita bisa kembali dengan cepat.

Kalau memang cita-citanya adalah berwirausaha, tunggu apalagi? Lakukanlah segera. Begitu pula jika ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Maka, carilah beasiswa untuk meringankan biaya.

Dalam penantian, teruslah berdoa kepada-Nya dan belajar ikhlas.


"Attitude"

Suatu ketika mantan atasan saya di MNCTV pernah berkata bahwa lebih baik memperkerjakan orang yang mau belajar alias belum “jadi” tapi beretika, daripada orang pintar tapi tak beretika. Katanya lebih lanjut, orang pintar yang tak beretika akan sulit bekerja sama, cenderung menganggap enteng, dan berpotensi membuat suasana bekerja menjadi tak nyaman. Mantan atasan saya itu tak sekali dua kali mem-PHK karyawan yang seperti ini.

Sahabat saya di Kompas.com pernah mengeluh bagaimana sulitnya mengarahkan seorang lulusan baru dari universitas ternama melakukan liputan. Ada saja alasannya untuk membantah arahan liputan. “Tulisannya saja masih kacau balau, berani pula membantah editor,” cerita sahabat saya itu. Akhirnya kontrak si reporter itu tak diperpanjang.

Ini menunjukkan bahwa “attitude”, sopan santun, etika, atau banyak orang menyebutnya sebagai kemampuan EQ adalah mutlak diperlukan. Sehingga siapapun harus memilikinya, terutama dalam dunia kerja. Saran saya, kemampuan ini harus terus ditumbuhkan sampai kapanpun dan dimana saja kita berada. Semangat pantang menyerah untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik, membangun komunikasi yang positif kepada siapapun, dan berpikir postif, adalah beberapa wujudnya.

Mulailah tunjukkan etika dalam mengirim lamaran, saat wawancara, hingga bekerja nanti. Dijamin, ada saja “keberuntungan” yang akan mampir. Belum lagi jika kita mampu memanfaatkan peluang dan terus belajar serta selalu memberikan lebih atas hasil kerja kita.

***

Satu tiket masa depan telah diraih, lulus S1. Bagi sebagian orang ini penting karena bisa menjadi modal mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, bahkan menjadi modal buat melamar gadis pujaannya (kalau tidak memiliki ijazah S1, tak direstui menikah oleh calon mertua). Bagi sebagian yang lain mungkin menganggapnya biasa-biasa saja. Apapun itu, satu proses penting telah dilewati dan kini saatnya melangkah menjalani proses baru lagi. Jangan merasa puas dengan apa yang telah dicapai, teruslah berkembang agar selalu bermanfaat bagi orang-orang tercinta, serta bangsa dan negara.

Selamat, ya…..

Oya, setelah nanti mendapat pekerjaan, siap-siap saja dengan pertanyaan: “kapan menikah?” Hehehehe…



Penulis: Aryo Subarkah Eddyono

Artikel ini juga tayang di Kompasiana


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete