![]() |
| Pemasangan atribut kampanye yang sembarangan (Sumber foto: Tribun Jabar) |
Dinding rumah Thaniago pernah ditempeli poster
kampanye tanpa izin Tsamara Amany, politikus Partai Solidaritas Indonesia,
hingga bikin ia melayangkan kritik melalui blog,
akhir pekan bulan lalu.
“Yang berizin saja ngeselin karena
kotor dan menginvansi ruang publik kita untuk kepentingan privat. Jadi apalagi
enggak berizin. Mereka itu tidak pernah bicara tentang kita, tapi memanfaatkan
milik kita untuk kepentingan mereka,” kata Thaniago, penggiat organisasi
nirlaba pemantau media Remotivi.
DKI Jakarta termasuk salah satu provinsi yang
dibanjiri limbah atribut kampanye. Sepanjang September 2018 hingga Februari
2019, Bawaslu DKI Jakarta menyita 13.578 alat peraga kampanye yang melanggar
aturan.
“Dari sisi pesan juga isinya kosong semua.
Jargonistik. Enggak menjelaskan apa pun tentang mereka selain mengharap iba
semata,” ujar Thaniago.
Usai Thaniago mengunggah kritik, Tsamara merespons melalui akun Twitter, meminta maaf dan mengaku kecewa karena para
relawannya memasang atribut kampanye tanpa izin. Tak lama poster di dinding
rumah Thaniago dicabut. Namun, poster serupa masih menempel di beberapa rumah
tetangganya.
“Respons Tsamara di Twitter itu semacam strategi
komunikasi yang bagus. Tetapi menandakan dia tidak pernah serius menjalankan
politik dengan cara baru,” pendapat Thaniago, yang berharap sebagai politikus
baru, Tsamara tidak meniru kesalahan dari politikus partai lain.
Sumbo Tinarbuko, inisiator Komunitas Reresik
Sampah Visual, menilai harusnya caleg berani bertanggung jawab. Caranya, teliti
mengawasi karena jika tidak, sama saja relawan membunuh calegnya sendiri.
Bukan hanya Thaniago dan Sumbo, Ketua Koalisi
Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, pun kesal atas pola
pemasangan atribut kampanye. Menurutnya, peserta pemilu harus menunjukkan
keberpihakan pada masyarakat dengan cara tidak memprivatisasi ruang publik.
Jika tidak, empati warga bakal hangus.
“Jadi enek melihat hal seperti
itu,” kata Sitorus.
Ia kecewa ada banyak atribut melintang di
trotoar, menghalangi pejalan kaki yang sudah tersisih oleh pedagang kaki lima
dan pengendara motor, terlebih hal itu merugikan para penyandang disabilitas.
Memang ada aturan area tertentu dilarang
dijadikan sebagai lokasi atau titik pemasangan atribut kampanye. Tetapi
sekalipun area sarana ibadah jadi tempat terlarang, atribut kampanye bisa
dipasang tepat di depannya.
"Kampanye tetap harus punya etika.
Pemasangan APK [alat peraga kampanye] kita kebablasan, sangat longgar
aturannya,” ujar Sitorus.
Meskipun Indonesia memiliki empat startup alias
bisnis rintisan digital yang telah menjadi unicorn dan istilah
industri 4.0 rutin digaungkan pemerintah, tapi kampanye dengan alat
konvensional seperti APK tetap marak.
Padahal aribut-atribut kampanye seperti spanduk,
baliho, poster, stiker, yang kebanyakan dibuat dari vinil agar tahan air
berpotensi merusak lingkungan, menurut Kepala Greenpeace Indonesia Leonard
Simanjuntak.
“Bahan [APK] tergolong kategori plastik yang
berbahan dasar kimia, range untuk daur ulang kalau terbuang ke
alam, antara 400 sampai 1.000 tahun, sama seperti plastik yang lain,” kata
Simanjuntak.
Harusnya peserta kampanye tak menyuburkan sampah
visual di ruang publik, ujar Simanjuntak. Justru harusnya mempelopori alat
peraga kampanye yang ramah lingkungan dan lebih kreatif, misalnya memakai
bahan paperless atau fokus pada sosial media.
“Itu mengurangi biaya kontestasi politik kita
yang memang mahal banget. Berkurangnya biaya politik juga berkurangnya biaya
utang para caleg untuk mencari dana yang nantinya harus dibalas budinya,”
ujarnya.
![]() |
| (Sumber foto: Tirto) |
Lambat Menindak
dan Minim Efek Jera
Komisioner
Bawaslu Jakarta Selatan Ardhana Ulfa Azis menerangkan alur pencopotan APK yang
melanggar aturan. Intinya memang cukup panjang tapi tak punya efek jera.
Setiap ada dugaan pelanggaran, Ardhana atau rekannya harus memverifikasi ke
lokasi. Setelah itu harus ada pengkajian, pelanggaran dalam kategori apa.
Kemudian memberikan rekomendasi pada kelurahan maupun kecamatan untuk
mencopotnya.
“Kelurahan minta Satpol PP dengan Panwas turun. Jadi, setiap penurunan atribut
kampanye harus sama-sama,” kata Ardhana.
Namun, sebelum eksekusi, Bawaslu di tingkat kabupaten atau kota menghubungi
partai politik dari caleg atau capres dan cawapres yang melanggar aturan. “Kami
maunya secepat mungkin. Tapi susah koordinasi [dengan parpol], ditelepon enggak
diangkat, koordinasi jadi panjang,” nada Ardhana geram.
Jika bisa dicopot, Satpol PP akan menyita dengan cara menyimpan rapi, sesuai
Peraturan Bawaslu Nomor 28/2018. Peserta pemilu bisa dengan mudah mengambil dan
memasang kembali atribut kampanye yang sudah disita itu.
Di sisi lain, jika ada seseorang yang merusak atau mengambil atribut kampanye
dengan alasan apa pun, bisa dijerat pidana dengan hukuman maksimal dua tahun
penjara dan denda Rp24 juta (Pasal 280 ayat (1) huruf g). Belum lagi ancaman
dua tahun penjara karena perusakan (Pasal 406 KUHP ayat 1).
Masalah lain bendera parpol yang tidak masuk dalam kategori alat peraga
kampanye sehingga bisa dipasang di berbagai tempat jika parpol itu tengah
mengadakan agenda besar.
Namun, kata Ardana, parpol kerap tak patuh aturan dan enggan mencopot sendiri
bendera usai tiga hari dipasang. Berdasarkan data yang dipegang Ardana, dari
awal masa kampanye hingga akhir Februari 2019, ada 2.839 bendera partai yang
disita di Jakarta Selatan.
Alfred Sitorus berharap ada tindakan kreatif dari Bawaslu untuk menyiasati
sejumlah aturan longgar mengenai pemasangan atribut kampanye. Tujuannya untuk
penegakan komitmen.
Misalnya, dengan cara menjerang foto-foto atribut kampanye dari para caleg yang
melanggar aturan melalui sosial media. Begitu juga Satpol PP bisa bergerak
tanpa Bawaslu dengan mendasari penindakan pada Perda DKI Jakarta Nomor 8/2007
tentang ketertiban umum.
“Kamu berkampanye, kami tidak pernah melarang. Tapi kalau kamu melanggar
ketertiban umum, saatnya publik menghakimimu,” ujar Sitorus, kesal.
Strategi kreatif lain bisa mencontoh Bawaslu Kota Salatiga. Mereka memasang stikerpada atribut kampanye yang melanggar
aturan.
Sumbo Tinarbuko menyebut sanksi sosial semacam itu sudah dilakukan juga di Jawa
Timur pada Pemilu 2014. Warga menempeli atribut kampanye dengan stiker yang isinya
mengkritik peserta pemilu.
"Peserta pemilu itu bertindak lebay dalam rangka
mencari perhatian, mencari muka, memunculkan daya ganggu. Tapi daya ganggu
mereka itu tidak menyenangkan hati,” kata Sumbo.
Penulis : Rizki Auliarahman P
Editor : Firly Fenti


Komentar
Posting Komentar