Langsung ke konten utama

Peri Darah

 

Doc: Google


“Hey, kau ini ya! Aku sudah bilang jangan memasak tengah malam begini! Nanti kalau terluka dan Peri Darah datang bagaimana?!”

Arthur hanya menghela napas saat kakaknya merampas pisau di tangannya, dan meletakkannya kembali ke rak dapur.

Lagi-lagi soal itu.

Kakaknya, Allistair, memang percaya sekali dengan hal-hal seperti mitos, pamali, cerita lama, mitologi, legenda, folktale, dan semacamnya. Mau seaneh apapun, pasti akan diikuti atau dihindarinya. Padahal, sekarang sudah tidak ada lagi yang percaya dengan hal-hal seperti itu. Setiap Arthur bertanya atau mengeluhkan hal ini, kakaknya selalu menjawab dengan ‘Aku hanya ingin menjagamu. Orang tua kita sudah tidak ada, dan kau satu-satunya yang aku punya.’

Kalau sudah dibilang begitu, ia jadi tidak bisa melawan. Kedua orang tua mereka meninggal beberapa bulan yang lalu, setelah melanggar tabu setempat. Jadi, sebagai adik dan keluarga satu-satunya, Arthur maklumi saja. Bahkan meski ia juga jadi harus mengikuti apa yang dipercaya sang kakak.

Sebenarnya tak masalah. Toh sudah jadi keseharian. Namun, legenda Peri Darah ini selalu mengganggunya yang sering lapar di tengah malam.

“Tapi aku lapar, kak. Tugasku juga belum selesai,” bujuknya pada sang kakak. “Aku akan berhati-hati memakai pisaunya, aku janji!”

Kakaknya menolak dengan tegas. “Tidak! Kau itu paling ceroboh kalau berurusan dengan pisau! Sekarang kau buat sereal atau roti dan selai saja, lalu selesaikan tugasmu,” ujarnya sambil mulai melangkah menaiki tangga. “Sekarang aku mau tidur. Awas kalau kau berani menggunakan dapur, apalagi memakai pisau! Paham?”

Kembali menghela napas, Arthur mengangguk. “Iya kak,” balasnya lesu.

Mendengar sang adik akhirnya menurut, Allistair menaiki tangga dan segera tidur di kamarnya. Sementara Arthur, dengan pasrah, hanya bisa membuat roti lapis selai untuk dibawa kembali ke ruangannya. Untuk dimakan sambil mengerjakan tugas.

Tetapi, setengah jam setelah rotinya habis, Arthur lapar lagi hingga sulit konsentrasi. Diam-diam, ia pun menyelinap menuju ruangan sang kakak, dan menempelkan telinganya ke pintu.

Hanya terdengar suara mendengkur. Kakaknya sudah tidur. Bagus!

Masih berusaha berhati-hati, Arthur kembali berjalan ke dapur dan memeriksa makanan di sana. Karena kakaknya mudah terbangun, ia tidak berani menggunakan kompor. Terutama setelah tadi sempat diancam.

Setelah meneliti bahan makanan yang ada, Arthur menemukan beberapa iris daging asap, keju, selada, dan tomat. Ditambah dengan resiko yang ada, Ia pun memutuskan untuk membuat sandwich saja. Memang masih kurang mengenyangkan, tapi setidaknya ada yang bisa dibuat tanpa harus membangunkan kakaknya. Toh tugasnya sebentar lagi selesai.

Arthur pun berusaha setenang mungkin dalam menyusun isi rotinya. Namun ia kesulitan untuk mengiris tomat. Cairan dari tomat tersebut membuat tangannya licin.

Syat!

Pisaunya meleset, dan membuat jarinya tergores. Darahnya langsung menetes mengenai talenan.

Setidaknya sakitnya tidak seberapa, sehingga Arthur bisa menahan suaranya. Ia pun bergegas menuju kamar untuk membalut lukanya dengan plester. Setelah beres, Arthur kembali ke dapur. Ia mengambil tisu, lalu mendekati talenan tadi untuk membersihkan bekas darahnya.

Darah di sana hilang.

Ketakutan, ia langsung berlari ke kamarnya. Setelah mengunci pintu dan naik menyelimuti diri di kasur, Arthur bergegas meraih ponsel dan membuka aplikasi chat. Dengan cepat, dibacanya catatan mengenai berbagai jenis mitologi yang dikirim kakaknya. Berusaha mencari tahu apa yang harus dilakukannya.

Tok, tok, tok!

“Arthur? Kenapa kau membanting pintu begitu? Ada apa?”

Mendengar sahutan kakaknya yang mengetuk pintu dengan tidak sabar, ia balas menyahut, “Kakak? Kau Kak Allistair, kan?!” ucapnya berusaha memastikan.

“Tentu saja ini aku! Ayo buka pintunya!”

Arthur pun membukakan pintu. Begitu melihat itu benar wajah kakaknya, ia langsung memeluk sang kakak erat-erat. Membuat Allistair sampai terheran-heran. Arthur pun melepaskan pelukannya, lalu menceritakan soal dirinya yang melanggar larangan untuk memasak, tak sengaja melukai tangannya, dan bekas tetesan darahnya yang menghilang.

“Maafkan aku kak,” tuturnya penuh penyesalan. “Jadi apa yang harus aku lakukan? Peri Darah itu tidak ada, kan? Aku akan baik-baik saja, kan?”

Kakaknya hanya tersenyum dan mengusap kepala Arthur. “Sayangnya, Peri Darah itu ada,” katanya. “Dan seharusnya, kau mendengarkan ucapan kakakmu.”

Arthur membeku ketakutan.

Senyum sang kakak berubah menjadi seringai. wajahnya meleleh dan berganti rupa. Taring-taring tajam muncul menggantikan gigi. Kuku tangan memanjang dan warna kulitnya menggelap. Tubuhnya berubah menjadi sesosok monster mengerikan, dengan sayap hitam di punggungnya.

Itu bukan kakaknya, itu Peri Darah yang menyamar untuk memangsanya.

 

Penulis: Annisa Aulia N. S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete