Langsung ke konten utama

Pamali

 

Doc: Google

Ini salah satu pengalaman nyata, saat aku baru memasuki jenjang sekolah dasar.

Aku yakin kalian semua sudah akrab dengan yang namanya pamali. Entah diberitahu orang tua, atau diceritakan teman semasa masih kecil.

Pamali yang paling kutakuti, adalah larangan untuk tidak mengetuk-ngetuk lantai atau dinding, terutama pada malam hari. Takut ada yang mengetuk balik. Aku juga diberitahu, kalau tiba-tiba kau mendengar suara ketukan di dinding atau lantaimu, segeralah tidur. Nanti juga berhenti. Pokoknya abaikan saja, apapun yang terjadi.

Itu ‘sesuatu’ yang ingin mengajakmu berbicara.

Sebagai latar belakang, rumahku berada di jalan buntu dalam area perumahan. Sebelah kanannya dinding tinggi, sebelah kirinya rumah dengan cat kuning, dan dua rumah di hadapannya adalah rumah kosong tak terurus karena lama tidak ditempati (kedua rumah ini punya cerita sendiri, tapi mungkin akan kuceritakan lain kali).

Rumah bercat kuning yang masih satu dinding dengan rumahku ini, sering berganti-ganti penghuni. Dari keluarga dengan bayi, lelaki pembuat boneka, hingga keluarga besar dengan dua anak perempuan. Jangka waktu tinggal mereka di rumah itu hanya berkisar paling lama dua tahun. Seperti ada yang membuat mereka tidak nyaman tinggal di situ.

Kala itu, penghuninya adalah sebuah keluarga dengan seorang anak lelaki yang, jujur saja, agak nakal. Dia anak tunggal, dan punya beragam mainan mobil-mobilan remote control berukuran besar yang suka dimainkannya di teras. Kami biasa bermain dengan akur, meskipun terkadang, kakiku suka dilindas dengan mainan mobil remote-nya, dan ia hanya membiarkan aku menjerit-jerit kesakitan— sampai aku mengancam akan mengadukannya ke orang tuanya.

Saat itu hari Rabu, kami sedang bermain di teras rumahnya. Temanku ini mengetuk-ngetuk dinding dengan mainan yang tengah ia pegang. Dengan panik, aku pun langsung menasihati, “Eh kamu jangan suka ngetok-ngetok dinding gitu! Pamali!” Ucapku sambil berusaha menahan tangannya.

“Ah masa? Mang kenapa?” Tanyanya bingung.

Sambil menariknya untuk duduk, aku pun menjelaskan. “Papaku bilang kalo ngetok-ngetok dinding ato lantai, terutama pas malem nih ya, nanti ada ‘sesuatu’ yang bakal bales ngetok lho! Soalnya kata papa, ngetok-ngetok begitu teh kayak kamu mau ngajakin mereka ngomong.”

Mengernyitkan dahi, ia mencibir. “Ah papa kamu bo’ong ituu! Bisa aja yang bales orang lain juga kan, kek kamu gitu.”

“Iiih mang darimana kamu tau kalo misalnya yang bales ngetok beneran aku? Mang kamu bisa liat nembus tembok?” Balasku mencoba meyakinkannya.

Aku terus berusaha membuatnya memercayaiku, tapi temanku ini malah menggodaku dengan mengetuk dinding terus-menerus. Sampai suara berisiknya membuat orangtuanya mesti menegur.

Malam harinya, ia mengetuk-ngetuk tembok kamar tidurnya, yang satu dinding dengan ruang tengah rumahku. Polanya tiga ketukan, jeda, lalu tiga ketukan, jeda. Terkadang lebih, terkadang kurang. Begitu terus selama beberapa lama.

Ketukannya lumayan berisik, mengangguku yang masih menonton TV. Aku tadinya hendak balas mengetuk, tapi tidak jadi karena aku ingat pesan orangtuaku. Ketika kuadukan pada papa, balasannya pun hanya ‘yang penting kamu ga ikut ngetuk-ngetuk’. Setidaknya, suaranya juga tidak begitu terdengar dari kamar tidurku, jadi kuabaikan saja.

Saat kami bermain keesokan harinya, aku terus berusaha menasihati temanku ini. Ia masih tidak percaya. Kebiasaannya mengetuk-ngetuk dan aku yang terus berusaha menasihatinya ini pun terus terjadi. Selama itu juga, aku tetap tidak pernah balas mengetuk.

Hari Sabtu, pada saat kami bermain bersama di teras rumahnya, temanku ini jadi agak lebih pendiam. Seperti terus memikirkan sesuatu. Ia bahkan tidak menjahiliku seperti biasanya. Begitu kutanya, temanku ini bilang bahwa ia bermimpi ada bayangan hitam yang muncul dari dinding yang suka diketuknya.

Aku jelas ketakutan mendengar ceritanya, dan langsung memintanya untuk jangan mengetuk-ngetuk dinding lagi. “Udah, kamu jangan suka ngetok-ngetok lagi! Aku ga mau kamu kenapa-napa! Aku aja selama ini udah sabar banget lho buat ga bales ngetok ke kamu! Emangnya kamu, bandel sih!” Omelku panjang lebar.

Mendengar itu, ia terkejut. “Lho, bukannya setiap aku ngetok, kamu suka bales?”

“Ha?” Ucapku ikut terkejut.

“Iya!” Serunya. “Kan aku dari Rabu pertama ntu suka ngetok pas jam Maghrib tuh, trus kamu suka bales ngetok jam sembilanan lebih, dan kita jadi saling bales ngetok-ngetok gitu!”

Menelan ludah, aku berusaha menjelaskan. “…Tapi aku beneran ga pernah bales ngetok, tanya aja mama-papa aku. Trus dari sebelum jam delapan, aku udah mesti masuk kamar buat tidur, soalnya jam segitu mama matiin lampu rumah. Mana kan tembok kamar kamu teh ruang tengah rumah aku. Mana mungkin aku bisa bales ngetok kan.”

Kami diam saling pandang.

Hari itu, aku pulang bermain lebih cepat. Tampaknya ia juga ketakutan, sehingga saat aku menonton TV untuk menenangkan diri, aku tak mendengar ketukan darinya lagi.

Tapi semua belum berakhir.

Aku terbangun tengah malam karena ingin buang air kecil. Ketika kembali dari kamar mandi, aku mendengar ketukan dari dinding di ruang tengah. Polanya masih tiga ketukan, jeda, lalu tiga ketukan, jeda. Kucoba mengabaikannya, sambil kembali melangkah ke kamar.

Buk! Buk! Buk!

Suara ketukan berubah menjadi seperti suara orang memukul-mukul dinding. Terkesiap, aku berlari masuk ke dalam kamar, dan bersembunyi di bawah selimut. Berusaha tidur.

BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BUK!

Namun suara pukulan tersebut malah menjadi dentum serentetan suara menggedor-gedor yang sangat kencang, dan kini sudah nyaris tidak berjeda. Mengerikan. Aku sudah menutup kepala dengan bantal tapi suaranya masih terdengar. Orangtuaku pun sampai terbangun dan memeriksa ruang tengah sambil menyalakan lampu rumah.

Melihat lampu menyala dari jendela kecil di atas pintu kamarku, aku pun turun dari kasur untuk menghampiri orangtuaku. Begitu ada di ruang tengah, gedoran di dinding itu benar-benar keras, sampai jam dinding yang terpaku di sana jatuh. Untungnya papaku berhasil menangkap jam itu, meletakkannya di lantai, lalu menarik mama dan aku ke dalam kamar orangtuaku.

Aku yang ketakutan menanyai papa ada apa, dan mama mengusulkan untuk menelpon keluarga temanku itu. Papa sendiri juga tampak tidak tenang, tapi hanya menyuruh kami untuk tidur saja. Aku bahkan disuruh tidur bersama mereka untuk malam itu.

Suara dentuman terus-menerus itu membuat sulit terlelap, namun akhirnya aku bisa tidur juga.

Pagi harinya hari Minggu. Aku yang khawatir langsung mengetuk pintu rumah temanku, karena dentuman dari kamarnya semalam benar-benar menakutkan. Begitu orangtuanya membukakan pintu dan aku baru mau bilang ingin bertemu dengannya, mereka malah balik menanyakan keberadaannya padaku. Karena ketika mereka bangun kala subuh tadi, ia tidak ada di kamarnya.

Temanku hilang.

Aku yang tidak percaya mencoba meminta izin untuk masuk ke kamarnya dan mencarinya. Aku sering bertamu ke rumah itu, jadi mereka mempersilahkanku masuk sementara mereka bertanya pada orang tuaku.

Di bawah meja tidak ada. Di bawah kasur tidak ada. Di dalam lemari tidak ada. Ia benar-benar tidak ada di rumah itu.

Yang ada hanya mainan mobil remote-nya di atas kasur, dan hawa dingin di kamarnya itu.

Takut bercampur tidak nyaman, aku pun keluar dari sana. Setelah meminta izin, aku mencoba membantu dengan mengumpulkan anak-anak kompleks perumahan untuk berkeliling bersama mencari temanku itu.

Aku dan gerombolan anak-anak itu berkeliling ke rental PS, pasar pagi, dan tempat-tempat lain yang suka dikunjungi anak-anak di sana. Tapi hingga Adzan Dzuhur berkumandang, kami tak menemukannya. Jadi, kami semua memutuskan untuk kembali.

Begitu sampai, aku dan anak-anak lainnya melihat ada kerumunan orang-orang ramai mengitari halaman rumah temanku itu— dan juga halaman rumahku. Semuanya orang dewasa, sehingga kami yang anak-anak tidak dapat melihat ada apa. Tapi di antara banyak kerumunan, aku bisa mendengar suara temanku yang sedari tadi kami cari.

Awalnya terdengar seperti sedang tertawa, namun tidak ada suaranya. Hanya bunyi napasnya saja. Lalu ia mulai terdengar mengikik geli, tertawa kencang terbahak-bahak, lalu ia menangis.

Dari apa yang terlihat oleh anak lain yang lebih tinggi, sepertinya temanku itu sudah ketemu, dan hendak digendong masuk ke dalam mobil. Sambil tertawa dan menangis.

Begitu kerumunan menepi, benar saja, mereka memberi lewat jalan untuk mobil itu pergi meninggalkan kompleks. Karena ketinggalan detilnya, salah satu temanku yang ikut berkeliling menanyakan apa yang terjadi pada ibunya, yang kebetulan ada di sana.

Abis kalian pada pergi keliling rame-rame, ibu kan ngumpul ntu bareng ibu-bapaknya. Mau ngebantu nyariin. Eh, kedengaran suaranya lagi ketawa dalem rumah, kenceng gitu” tuturnya mulai bercerita. “Ya saya ma ibu-bapaknya lari masuk. Ni anak, ketemunya lagi baringan di atas kasur. Langsung nangis kejer gitu. Takutnya kesurupan, jadi itu sama ibu-bapaknya mo dibawa ke ustaz kenalannya.”

Seminggu kemudian, mereka pindah. Aku harap temanku itu baik-baik saja, karena sampai sekarang, ia tak ada kabarnya.

 

Penulis: Annisa Aulia N. S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete