Langsung ke konten utama

Bayangan

 

Sumber: Google

Aku tidak suka cermin. Bukan karena fobia atau apa. Tapi, sedari kecil, aku bisa melihat dua hal yang orang biasa tidak dapat lihat di cermin.

Kemampuanku yang pertama, setiap aku bercermin sendirian, bayanganku akan bergerak sesuai kehendaknya sendiri. Sedangkan kemampuanku yang kedua, adalah melihat sisi lain seseorang saat bercermin bersama orang itu.

Bayanganku di cermin yang bergerak sendiri atau jati diri seseorang ini pun hanya aku saja yang bisa melihatnya. Orang lain hanya dapat melihat bayanganku bergerak mengikutiku secara normal.

Tenang, bayanganku tidak memiliki bola mata hitam atau semacamnya seperti di film horor. Penampilannya normal, sama denganku, dan tidak menyeramkan. Malah, ia cukup bersahabat. Sering tersenyum ramah setiap melihatku berkaca. Sifatnya juga jauh lebih periang dan perhatian dariku.

Contohnya seperti saat aku makan di restoran, bayanganku yang terpantul di jendela akan menunjuk pipinya. Memberitahuku ada remah makanan di pipiku. Atau saat aku menangis di kamar mandi, bayanganku ini akan berusaha mengajakku bicara untuk menghiburku.

Soal cara berkomunikasi, aku dan bayanganku saling berbicara dengan membaca gerak bibir. Terkadang juga ia menuliskan sesuatu di kertas atau memo handphone, jika aku tengah memegang barang-barang tersebut. Jadi sebenarnya, aku tidak memiliki masalah dengan bayanganku sendiri ini.

Tapi beda cerita dengan kemampuan yang kedua.

Aku pertama menyadari kemampuan ini saat tengah menemani sahabatku ke kamar mandi sekolah. Matanya kelilipan debu. Aku membantu meniup matanya, lalu ia mencuci muka seraya kami mengobrol biasa kala itu. Namun, begitu aku melihat cermin … aku melihat bayangan sahabatku tengah gantung diri.

Tentu saja aku terkejut. Bayanganku yang juga ada di cermin itu pun demikian, dan dengan panik ia berusaha menarik perhatianku. “Tanyakan pada temanmu, apa dia ingin bunuh diri?! Cepat!” Ujarnya panik padaku.

Meski masih agak terguncang, aku mencoba menanyakannya secara pelan-pelan pada sahabatku. Awalnya ia menyangkalnya, namun pada akhirnya sahabatku mau mengaku. Ia bilang memang ingin mencoba melakukannya nanti malam. Aku berhasil meyakinkannya untuk tidak melakukan hal tersebut, dan bayangannya di cermin tidak lagi tengah tergantung dengan tali di leher. Hanya menangis sambil tersenyum lega. Syukurlah.

Dari sana, aku dan bayanganku tahu aku dapat melihat orang-orang yang memerlukan bantuan, juga jati diri mereka. Kepribadian asli mereka dapat aku lihat dari bayangan mereka di cermin, sehingga aku pun tahu siapa yang mesti kujadikan teman.

Masalahnya, bayanganku punya sense of justice yang kuat. Ia memintaku untuk lebih sering bercermin bersama orang lain, agar nantinya kami berdua bisa menolong lebih banyak orang. Baik hati sekali.

Ide bagus memang. Kalau saja aku kuat untuk terus melihat pantulan refleksi orang-orang yang melotot gantung diri, kepala pecah bercucuran darah, atau kejang-kejang dengan mulut berbusa. Trauma melihatnya. Terutama karena ibuku sendiri mengakhiri hidupnya saat aku kecil.

Setelah dikompromi, kami pun sepakat untuk hanya melakukan ‘suicide patrol’ setidaknya setiap aku tidak memiliki kesibukan. ‘Patroli’ ini pun kulakukan dengan berkeliling kota sambil membawa cermin, mendekati orang yang tampak membutuhkan bantuan, dan menolong mereka sebisaku. Seperti mengajak mereka bicara atau menemani mereka seharian itu, sampai bayangan mereka tidak lagi mengkhawatirkan.

Tapi ternyata, ada hal yang lebih mengkhawatirkan lagi dengan kemampuan yang satu ini.

Kala itu, aku tengah di kafe langgananku. Biasa, mencari wifi untuk mengerjakan tugas sekolah, sembari menikmati kudapan di sana. Saat membayar, kasir di sana menyampaikan bahwa ujung lengan bajuku kotor. Sepertinya terkena saus dari sandwich yang kupesan. Setelah berterima kasih telah diberitahu, aku pun pergi ke toilet di kafe itu.

Saat tengah berusaha mencuci noda saus di wastafel, aku melihat salah satu barista di sana masuk ke toilet. Begitu melihatku, ia tampak begitu kaget hingga secara refleks mundur selangkah.

“Oh ya ampun!” Ucapnya sambil mengusap dada. “Maaf ya dik, jarang ada pelanggan yang pakai toilet. Jadi aku kira tidak ada orang di sini. Maaf ya, dik.”

Tertawa canggung sejenak, aku pun balas meminta maaf dengan wajah tidak enak. “Hahaha, tidak apa-apa kak, maaf ya kalau kakak jadi terkejut.”

Aku pun lanjut membasuh lengan bajuku, sementara barista itu menggunakan wastafel di sampingku untuk mencuci muka. Begitu lengan bajuku sudah cukup bersih, aku pun menaikkan pandangan untuk menutup keran. Perhatianku tak sengaja beralih pada cermin di hadapanku.

Di sana, bayanganku tampak ketakutan. Bibir, bahu, dan tangannya gemetar hebat, dengan wajah bercucuran air mata. Bibirnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Matanya juga terpaku pada barista di sebelahku. Baru kali ini aku melihat bayanganku seperti itu.

Jelas ada yang tidak beres. Perlahan-lahan, kulihat cermin di sampingku. Tempat di mana bayangan barista itu seharusnya berada.

Mataku terbelalak.

Barista itu tidak punya bayangan.

Tanpa banyak basa-basi, aku berusaha setenang mungkin pergi dari sana, dan bergegas lari pulang ke rumah. Begitu masuk ke kamar, aku langsung menghampiri cermin riasku untuk berbicara dengan bayanganku.

“Kau tidak apa-apa?!” Tanyaku panik, karena bayanganku masih gemetar hebat.

Bayanganku mengangguk. “Iya, hanya masih kaget saja,” balasnya seraya menghapus air mata.

Mengatur napas, aku bertanya lagi. “Bagaimana bisa barista itu tidak punya bayangan? Apa kita salah lihat?”

“Aku tidak tahu, tapi yang jelas aku takut padanya,” balas bayanganku yang masih menenangkan diri.

Ngeri bercampur penasaran, aku lanjut bertanya. “Kenapa kau takut padanya? Karena terkejut dia tidak punya bayangan?”

“Iya, karena itu artinya dia tidak punya jiwa.”


Penulis: Annisa Aulia N. S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete