Saya tengah duduk santai di gerbong paling depan, khusus wanita Commuter Line Bekasi-Jakarta Kota. Perjalanan siang hari yang tergolong sepi mengundang sedikit rasa kantuk. Namun tiba-tiba telinga saya menangkap suara ribut. Saat itu, kereta tengah berhenti di stasiun Cakung. Seketika rasa kantuk saya pergi berganti dengan rasa penasaran. Seluruh indra saya kerahkan untuk mencari sumber keributan tersebut. Bukan hanya saya, penumpang lain pun matanya “jelalatan” kesana kemari.
Akhirnya mata saya menangkap sekelebat sosok lelaki tua. Begitu cepat adegan berikutnya terjadi, dua laki-laki berseragam menyeret lelaki tua tadi keluar Commuter diselingi dengan bentakan dan cacian. Saat melintas di depan kaca gerbong wanita, saya melihat jelas lelaki tua tersebut tak memiliki jari lengkap, berjalan sedikit pincang. Ngilu saya menatapnya. Entah apa yang pernah ia alami sebelumnya.
Tak sampai di situ. Petugas lain datang. Mereka yang jumlahnya lebih banyak terlihat mengintimidasi lelaki tua itu. Sekilas saya melihat raut wajahnya, penuh penderitaan, dan pasrah tanpa perlawanan. Balada tersebut masih berlanjut, lelaki tua tersebut lagi-lagi diseret paksa hingga keluar peron.
Saya masih bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi?
Petugas di gerbong saya menuturkan, ternyata sang lelaki tua tersebut merupakan penumpang “gelap”. Ia di usir paksa oleh petugas karena kedapatan tak memiliki karcis Commuter Line. Ibu-ibu yang duduk di sebrang saya nyeletuk “Kalau memang ga punya karcis di suruh turun baik-baik kan bisa. Kenapa mesti di seret-seret segala. Sudah ga punya prikemanusian atau gimana sih?” Petugas tak mau kalah, ia menimpali sang ibu “Ya sudah sering bu begitu terus. Dari Kranji ke Klender ga beli tiket. Masa iya kita mau terus-terusan diemin?”. “Ya sekarang gimana kalo dia orang ga punya, ongkos 8.500 buat naik comline pasti susah. Ekonomi sekarang dikurangi jamnya. Baik hati sedikit lah mas, sama-sama cari uang.” cecar sang ibu. Merasa dipojokkan, petugas membela diri “Ini sudah peraturan bu, kita cuma menjalani saja.” Ibu-ibu yang duduk di sebelah saya menimpali “Alaaah kalo udah kayak gini aja bilangnya cuma menjalankan peraturan.”
Jujur, hati saya terenyuh. Membayangkan jika berada di posisi lelaki tua tersebut. Bukan berarti orang miskin harga dirinya bisa di injak-injak, bukan? Ya, walaupun di negara ini sepertinya semua dinilai dengan materi. Cuma mereka yang ber-”duit” yang patut diperlakukan dengan baik. Dangkal memang, tapi itu realitanya.
Cerita di atas cuma satu dari sekian banyak yang saya alami tiap harinya di dalam alat transportasi yang saya sebut “kereta kehidupan”. Ya, di kereta saya bisa mengamati dan menyerap beragam kepribadian dan refleksi kehidupan. Hampir tiap hari saya pulang dan pergi saat rush hour. Saat kereta penuh sesak dengan pria berdasi, berkemeja, bersepatu mengkilat dan wanita karir dengan heels tinggi, make-up menawan dan rambut model masa kini. Sayangya, tak semuanya memiliki attitude se-”wah” penampilan mereka.
Saat pintu Commuter Line dibuka, semua orang saling dorong dan berebut kursi. Tempat duduk prioritas tak luput dari incaran. Padahal sudah jelas tertera di kacanya, tempat duduk prioritas merupakan hak para lansia, ibu hamil dan balita. Namun seolah jadi pemandangan biasa saat seorang ibu sambil menggendong bayinya sibuk mencari tempat duduk kosong, atau setidaknya tempat “aman” supaya sang bayi terhindar dari desakan tubuh besar orang dewasa. Sedangkan seorang pria berperawakan tegap dan gagah justru tertidur pulas di tempat duduk prioritas.
Memang hal-hal kecil yang sederhana. Tapi tak banyak orang yang saat ini masih peka dengan hal-hal kecil yang terjadi di sekitar. Agaknya saat ini, kebanyakan orang menggunakan “kacamata kuda”. Sehingga hanya hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan-nya lah yang bisa terlihat.
Lalu kemanakah perginya hati nurani?
Mungkinkah kesibukan dan kerasnya ibu kota telah mengikisnya pergi?
(Nuriy Azizah Susetyo)
Komentar
Posting Komentar