Langsung ke konten utama

Catatan Kecil Tentang Konser Band Metal Terbesar di Dunia

James hetfield, vokalis Metallica, live di Jakarta (25/8) (sumber foto: rollingstones.co.id)
Ini akan menjadi catatan tentang sebuah momen yang akan saya kenang seumur hidup. Mari kita mulai!
Minggu, 25 Agustus 2013, Jakarta, atau tepatnya daerah di sekitar Senayan, dipenuhi oleh manusia-manusia berpakaian hitam. Laki-laki, perempuan, orang tua, anak kecil, semuanya ada. Bahkan ketika menginjak masuk ke FX pun di dalam juga sudah banyak manusia-manusia berbaju hitam. 25 Agustus 2013 memang akan tercatat dalam sejarah pertunjukan Indonesia sebagai hari dimana konser terbesar dan terdahsyat itu terjadi. Metallica datang! Seluruh umat metal di Indonesia menyambut senang.
Euforia ini tidaklah berlebihan mengingat sudah banyak orang yang menunggu Metallica kembali ke Jakarta selama dua puluh tahun ini. Banyak juga orang yang datang ke konser tadi malam karena terpancing hype yang begitu meledak di sekitarnya. Tapi, biar saja. Semua orang berhak bersenang-senang. Tapi bagi saya, datang ke konser Metallica wajib hukumnya.
Ketika kedatangan mereka yang pertama pada tahun 1993, saya baru berumur dua tahun. Jangankan Metallica, alfabet dan angka saja mungkin saya belum hafal. Yang jelas, begitu saya tumbuh lebih dewasa dan jatuh cinta pada ajaran heavy metal beserta para imam di dalamnya, termasuk Metallica, saya hanya bisa iri membayangkan suasana rusuh konser 1993 saat banyak orang yang bercerita. Ketika tiba-tiba ada informasi Metallica akan datang ke Jakarta, maka saya langsung memantapkan diri hari itu juga bahwa saya harus ada di antara penonton yang datang.
Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti menemukan hasil. Itu yang saya yakini ketika harus menebus tiket masuk sebesar Rp 750.000. Mengandalkan uang yang ada di tabungan saat itu jelas tidak cukup, menabung hingga cukup tentu terlalu mendadak, demi kehadiran di momen besar ini saya harus cari cara lain. Jual apa saja yang laku dijual, pinjam uang ke teman, dan semuanya yang memungkinkan terbukanya jalan menuju pertunjukan. Hasilnya, satu tiket berhasil saya genggam di hari pertama penjualan dibuka.
Kemudian 25 Agustus yang ditunggu itu pun datang. Setelah melewati hari-hari sebelumnya dengan menghafal bait-bait lirik sang pujaan, saya siap untuk bertemu keempat pemimpin sekte heavy metal ini. Walaupun sebenarnya tetap saja ada semacam perasaan paranoid yang mebuat saya bepikir bagaimana jika tiba-tiba konser ini batal di hari H seperti konser Avenged Sevenfold silam. Tapi begitu melihat lautan manusia hitam-hitam sore itu, saya rasa Tuhan tidak akan tega melihat puluhan ribu orang ini kecewa karena tidak bisa melihat “nabi” mereka.
Benar saja, ketika memasuki gerbang stadion Gelora Bung Karno, tempat diadakannya konser, saya terkejut bukan main melihat di dalam sudah dihitamkan oleh manusia-manusia yang berdesakan disorot oleh tata lampu panggung yang mengagumkan. Jantung saya makin tidak karuan. Semacam ada perasaan tidak sabar tapi juga tidak percaya. Saya pun kalap berlari sekencang mungkin melewati orang-orang yang berjalan santai masuk ke venue. Dalam hitungan kurang dari dua jam lagi, saya akan bertemu sebuah band legendaris yang diyakini sebagai nabi para umatheavy metal. Dalam hitungan kurang dari dua jam lagi, saya akan bertemu band metal terbesar di dunia. Coba bayangkan sendiri rasanya.
Saya harus menunggu setengah jam lebih lama dari yang dijadwalkan untuk melihat keempat personel Metallica muncul di atas panggung. Saya tidak peduli. Setengah jam itu dipakai kru Metallica untuk mengecek kualitassound dari alat musik yang akan dipakai nanti. Begitu suara kick drum dijajal, DUMM! Saya langsung melihat teman di sebelah saya sambil tidak bisa berkata-kata. Ini adalah setelan sound paling luar biasa yang pernah saya dengan dalam hidup saya. Berturut-turut semua alat dipasang, saya tahu mimpi saya akan terwujud sebentar lagi.
Itu benar terjadi ketika lampu mulai dimatikan dan musik dimainkan pertanda konser akan dimulai. Benar saja, dalam satu menit kemudian, intro lagu ‘Hit The Lights’ dimainkan seraya mengantar keempat orang tua yang masih terlihat sangar nan gagah ke depan mata saya. Saat itu juga saya diam dengan mata tertuju ke panggung. Empat orang yang selama ini hanya bisa saya lihat di youtube, sekarang menggelar aksinya di depan mata. Pesta pun dimulai.
Mengantarkan ‘Hit The Lights’ pada teriakan-teriakan seisi GBK, keempat nabi heavy metal ini rupanya amat baik hati. Bagaimana tidak, nomor suci‘Master of Puppets’ digeber saat itu juga tanpa basa-basi. Demi apapun, saya menunggu dua puluh tahun untuk melemparkan simbol metal di tangan saya sambil menggemakan takbir di lagu ini, ‘Master! Master!’. Terus berteriak hingga akhirnya menyanyikan melodi yang dimainkan sang gitaris, Kirk Hammet dalam teriakan “Oooo..” yang kompak. Sehari sebelumnya, teman saya yang juga hadir malam itu berkelakar bahwa jika menonton Metallica tapi tidak ada lagu ‘Master of Puppets’ rasanya sama seperti orgasme yang tipis. Maka saya beruntung malam itu.
Berlanjut pada ‘Fuel’ dan ‘Ride The Lightning’, pesta malam tadi semakin gila. Maka ketika James Hetfield, sang vokalis, menyapa metalhead yang hadir, “Do you miss your friends in Metallica?”, kami berteriak lantang,“YEAAHH!!!”. Seisi stadion tiba-tiba menanggalkan identitas siapa mereka, dari mana berasal, dan melebur menjadi satu identitas yang kolektif: umatheavy metal yang sedang khusyuk menghadap pemimpinnya.
Ketika lagu bertempo pelan, ‘Fade To Black’, gemetar itu makin menjalar ke dalam. Mata pun tak pelak mulai berkaca-kaca walaupun air mata belum terurai juga. ‘The Four Horsemen’, ‘Cyanide’, ‘Welcome Home (Sanitarium)’masih bisa direspon dengan gagah perkasa sambil melompat-lompat di tempat. Ketika nomer berikutnya digelar, maka terjadilah yang sudah terbayangkan.
Momen tersakral bagi saya malam itu diawali oleh pertanyaan sang vokalis, Hetfield, “Do you want heavy? Metallica will give you heavy” Saya mulai deg-degan. Salah satu riff ter-heavy milik Metallica adalah lagu kesukaan saya, atau bisa dibilang satu dari tiga soundtrack hidup saya. Dan memang benar terjadi ketika intro itu menggelegar, ‘Sad But True’! Sampai dua bait awal Hetfield menyalak di lagu itu, saya masih diam menatapi panggung. Lagu ini semacam pengiring masa labil di usia SMA yang selalu merasa me-against-the-world. Seperti baru disadarkan saat reff yang paling dekat dengan saya selama bertahun-tahun ini benar-benar berkumandang. “You know it’s sad but true..” Saya melompat setinggi-tingginya, berteriak sekencang-kencangnya, menghantam tangan ke langit sekuatnya, dan air mata akhirnya meleleh juga. Di akhir lagu, saya harus menunduk sambil menutup mata yang basah di tengah puluhan ribu crowd yang hadir.
Selama track instrumental ‘Orion’ diputar pun saya masih merasa surealis. Masih tidak percaya bahwa malam ini adalah puncak terwujudnya mimpi yang sudah ditabung entah sejak kapan. Saya baru benar-benar mendapati diri saya kembali ketika ‘One’ berkumandang dengan khusyuk. Di sekitar saya pun akhirnya saya mulai melihat beberapa orang menangis. Kebanyakan dari mereka sudah bapak-bapak. Tampaknya kehadiran Metallica sudah membawa mereka ke nostalgi masa mudanya.
Kemudian lagu ‘For Whom The Bell Tolls’ yang benar-benar meyakinkan bahwa semua yang hadir di sini adalah mereka yang memang sudah terasuki dan terpilih untuk memeluk keyakinan metal dalam diri masing-masing. “For whom the bell tolls, the marches on” menjadi penjawab pertanyaan bagi mereka yang kerap bertanya DI depan atau DI Balkan saya, “Mau nonton konser aja, kok sampe segitunya sih?”
Dua nomor berikutnya adalah nomor Metallica paling pasaran yang pernah tercipta, ‘Nothing Else Matters’ dan ‘Enter Sandman’. Tak heran, seisi stadion mampu menyanyikan kedua lagu ini dengan fasih. Mengagumkan ketika ‘Nothing Else Matters’ mengalun lembut, di belakang saya ada sepasang laki-laki dan wanita setengah baya yang menyanyikan reffnya sambil berangkulan. Menakjubkan ketika seisi GBK bergetar bergerak berjingkrak menuju Neverland dibawa oleh ‘Enter Sandman’Encore pun dibabat habis hingga saya harus berlompatan bertubrukan dengan para lelaki berumur yang nampaknya juga makin kalap ketika tahu perjamuan metal ini akan segeran ditutup. ‘Creeping Death’, ‘Fight Fire With Fire’, dan‘Seek And Destroy’ menutup malam yang spektakuler ini.
Sampai konser berakhir saya masih merasa ini belum terjadi. Masih merasa sedang dalam penantian lebih kapan James, Lars, Kirk, dan Robert akan memulai aksinya. Padahal di panggung mereka sedang sibuk berterima kasih sambil membentangkan bendera merah putih yang dibawa metalhead Solo. Ketika tahu konser ini berakhir, maka mimpi yang terwujud ini pun berakhir. Berakhir untuk diwujudkan. Meski terwujudnya mimpi itu melebihi ekspektasi mimpi satu lagu. Mimpi yang besar adalah rangkuman dari dimensi mimpi yang lebih kecil. Seperti saya yang merasa kehadiran Metallica adalah mimpi yang terwujud untuk mewujudkan mimpi kecil saya: mendengar ‘Sad But True’ berkumandang secara langsung.
Dengan pertunjukan kelas dunia seperti ini juga dengan setlist yang sesuai ekspektasi (walau harus merelakan ‘And Justice For All’ tidak dimainkan), perasaan campur aduk, penantian panjang, hingga perjuangan mencari uang penebus tiket pun jelas terbayar tuntas. Terlepas dari menjadi bagian dari sebuah pertunjukan legendaris di showbiz Indonesia, saya hanyalah manusia berkostum hitam-hitam yang sama seperti manusia yang berkeliaran di Senayan hari itu. Perbedaannya adalah momen kesakralan di dalam alur pertunjukan. Di lagu apa mimpi kami terwujud, pengalaman kami yang mempengaruhi penilaian kualitas pertunjukan, serta nostalgi apa yang mengantarkan kami untuk mau berdesak-desakan dengan puluhan ribu orang berkeringat dalam satu tempat yang rapat. Di antara perbedaan itu, malam itu, di depan nama besar nabi heavy metal, Metallica, kami satu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete