Tanggal 4 Maret, 2017 merupakan kali
pertama Jakarta disuguhi pemandangan yang tidak biasa.
Kerumunan baju pink yang berkumpul di
depan Plaza Sarinah yang terdiri dari wanita dan pria feminis, transgender, dan
para penyandang disabilitas ini mengikuti aksi Women’s March untuk merayakan
Hari Wanita Internasional. Bendera pelangi pun turut mewarnai aksi ini sebagai
respresentasi dari kelompok LGBTQ+ Indonesia.
Seperti yang dikutip dari The Jakarta Post, aksi ini tidak hanya mengenai hak
wanita. Menurut salah satu panitia, Kate Walton, aksi tersebut dilakukan untuk
menyampaikan pesan tentang keadaan politik saat ini yang kurang memperhatikan
kelompok marjinal seperti LGBTQ+, penyandang disabilitas, dan indigenous people.
Selain itu, aksi ini juga memberi
pencerahan kepada masyarakat awam bahwa di Indonesia terdapat komunitas LGBTQ+
yang masih memperjuangkan hak hidup mereka agar tidak selalu menjadi korban
diskriminasi dan kekerasan.
Tahun 2016 merupakan tahun yang gelap
bagi kaum LGBTQ+. Dimulai dari petisi yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk mengkriminalisasi hubungan seksual antar sesama jenis melalui pengadaan
amandemen terhadap KUHP Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292.
“Sejak awal pergerakan gay, pernikahan
sesama jenis tidak pernah menjadi tujuan utama. Bagaimana bisa masyarakat LGBT
Indonesia menginginkan pernikahan jenis apabila masih banyak dari mereka yang
dipukuli, diganggu, dan dipecat dari pekerjaan mereka hanya karna orientasi
seksual dan identitas gender mereka?” Ujar aktivis LGBT Hendri Yulius, seperti
yang telah dikutip dari The Jakarta Post.
Tidak hanya itu, pemerintah juga
memblokir beberapa aplikasi yang dianggap sebagai safe space oleh
kaum LGBTQ+ seperti Grindr, Blued, dan BoyAhoy.
Namun keadaan semakin diperparah
dengan kembalinya kampanye anti-LGBTQ+ yang dilakukan oleh Kementrian Pemuda
dan Olahraga yang melarang pemuda-pemudi LGBTQ+ mengikuti proses seleksi
“Creative Youth Ambassador”, sebuah program untuk memilih masyarakat muda
Indonesia untuk mempromosikan kreativitas dan kompetitif.
Serangkaian aksi diskriminasi dan
kekerasan terhadap kaum LGBTQ+ pun terjadi sepanjang tahun 2016.
Namun, yang paling mencengangkan
adalah ketika polisi menahan pasangan gay di Sulawesi hanya karena mereka
mengunggah foto mereka berdua ke situs Facebook dengan tulisan “With my dear
lover tonight. May our love last forever.” Foto tersebut sontak mendapat reaksi
dari orang-orang yang tidak suka dengan kaum LGBTQ+ dan melaporkannya
kepada polisi setempat dengan tuduhan tindakan cabul dan pornografi.
Dikutip dari BBC, Yuli Rustinawati selaku Ketua Arus Pelangi,
mengatakan, “Dalam penelitian kami, terdapat 89,3% kaum LGBT di Jakarta,
Yogyakarta, dan Makassar pernah mendapat perlakuan kekerasan dan diskriminasi.
Tindak kekerasan kami kategorikan menjadi lima bagian, yakni aspek fisik,
psikis, seksual, ekonomi, dan budaya.”
Merupakan peran pemerintah untuk
melindungi seluruh masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali masyarakat LGBTQ+
yang juga memiliki hak perlindungan dari negara.
Menurut Dede Utomo, aktivis LGBT,
dikutip dari BBC, pemerintah Indonesia harus mengakui keberadaan
LGBT yang juga adalah warga negara Indonesia. Diskriminasi muncul karena tidak
ada peran negara. Kemudian, undang-undang yang bersifat diskriminatif terhadap
keberadaan kaum LGBT harus direvisi.
Salah seorang waria, Zedina, mengaku
pernah merasakan pelecehan secara verbal oleh seorang tetangga di lingkungan
perumahannya. Zedina merupakan seorang waria yang bekerja sebagai lip sync di salah satu club malam di
Jakarta.
Bertemu pada Rabu, (12/4/2017), di
daerah Cempaka Putih, Jakarta, Zedina kala itu datang mengenakan riasan wajah
tebal, jaket berwarna merah marun dan celana
khaki berwarna biru langit. Kemudian ia duduk dengan anggun dibangku
plastik berwarna merah dan menceritakan kembali kejadian tersebut.
“Dulu di lingkungan rumah ketika awal
pindah, aku masih sering-seringnya kerja begitu. (Saya) kalau dijemput pakai
mobil. Lalu waktu itu ada kejadian dijemput pakai mobil lalu pas pulang
mobilnya beda (merek dan warna). Kebetulan di lingkungan itu suka ada ronda,
jadi kayak bahan omongan gitu.”
Menurutnya, orang-orang
membicarakannya karena kerap kali ia naik dan turun dari mobil, ia selalu
mengenakan pakaian perempuan dan membawa tiga tas berisi pakaian, “Jadi kesannya
kayak (saya) habis mangkal di Taman Lawang, ih
amit!”
Zedina juga menambahkan bahwa ia tidak
terima disebut sebagai waria Taman Lawang karena ia tidak ada kemauan untuk
menjual diri dan ingin mendapatkan uang yang halal.
Zedina kenal dengan komunitas ini
semenjak duduk dibangku SMA kelas 1 karena dikenalkan oleh temannya ke “Ratu” (yang
ia panggil sebagai “Mama”) suatu club
malam di Jakarta. Ketika bercerita tentang Mama, matanya berbinar saat mengingat
pertama kali mereka bertemu,
“Bertemu di kost-an. Kalau di dunia
“itu” disebutnya “Mama”. Waktu itu Mama tanya namanya siapa dan ia bilang
(saya) cantik. Kemudian ditawarin untuk tes makeup,”
ucapnya. Mulai dari percakapan itulah Zedina ditawari pekerjaan lip sync dan mulai menyadari bahwa ia terlihat
cantik menggunakan makeup, wig, dan pakaian perempuan.
Ia mengatakan bahwa pembawaan dia
sebagai seorang waria sudah ada sejak dulu, terlepas dari ia sering mengenakan makeup, wig, dan pakaian perempuan untuk bekerja.
“Waktu itu juga sudah “cong”, cuma
waktu itu baru “cong” yang cowok banget. Sudah ngondek tapi masih dekil. Gak pernah
pakai baju perempuan. Terus juga badan masih laki banget,” ujarnya
sambil tertawa.
Kedua orang tua Zedina awalnya tidak
mengetahui bahwa dirinya memiliki pekerjaan disuatu club sebagai lip sync dan didandani
sebagai perempuan. Pekerjaannya baru diketahui karena orang tuanya mendapat
kiriman foto screenshot oleh saudaranya yang mengikuti akun
Instagram Zedina.
Awalnya mereka memang tidak senang.
Mereka berharap Zedina mendapatkan pekerjaan yang “benar”. Namun karena dalam
dunia tersebut Zedina sudah memiliki nama, ia kekeuh untuk tetap bekerja di
sana, “Jadi kalau tiba-tiba hilang begitu saja kan sama saja membuang rezeki
dari Allah, kan gak boleh.”
Meskipun Zedina mengaku menyukai
berdandan seperti perempuan dan merasa bahwa diri sebenarnya adalah perempuan,
ia mengungkapkan kalau dia tidak akan mau merubah fisiknya menjadi perempuan.
“Gue sih maunya
nanti menikah saja lelaki dengan lelaki, tapi gak mau
berubah. Fisiknya laki-laki tetapi cantik dan tidak maskulin. Sama sekali
dari dulu tuh gak kepikiran begitu,” ujarnya.
Walaupun dirinya tidak tertarik untuk
melanjutkan kuliah, tetapi Zedina tetap ingin mengambil sekolah makeup karena ia teringat dengan pesan
Mama yang merupakan sosok role model baginya. Menurut
Mama, sebagai seorang waria mereka juga harus memiliki prestasi dan karya.
Apabila mereka memiliki bakat makeup dan bisa lip sync, menurutnya itu sudah menjadi modal mereka.
Meskipun sering diolok oleh orang-orang di jalan, mereka akan tetap bangga
karena mereka bukan waria pinggir jalan, “Lagian juga kan belum tentu orang
yang ngatain bisa sesukses kita.”
Selain pernah mengalami pelecehan
secara verbal, Zedina mengaku bahwa sewaktu masih duduk dibangku SMA pernah ada
teman lelakinya yang sengaja memperlihatkan alat kemaluannya.
“Gue melihat ya
alhamdulillah. Lagian juga enggak diseret-seret sampai
dibawa ke kamar mandi. Gak pernah
sampai dibully. Ya paling kalau ditengah jalan orang mulutnya
usil, “Itu cowok kayak perempuan,” begitu doang.”
Melihat aksi Women’s March kemarin,
Zedina mengaku dirinya senang melihat ada banyak masyarakat yang mensupport
LGBTQ+. Menurutnya, kaum LGBTQ+ bukan untuk dijauhi dan dikucili.
Menurutnya, mereka hidup masing-masing
hanya saja berdampingan. Ia merasa aneh melihat orang yang menganggap kaum
LGBTQ+ menggelikan. Pasalnya, banyak teman-temannya dalam komunitas tersebut merupakan
pilihan dari hati.”
Diskriminasi yang dialami oleh kaum
LGBTQ+ bukanlah hal lumrah yang tidak perlu dianggap serius. Masyarakat dan
pemerintah harus membuka mata dan tidak bisa berkata bahwa di Indonesia tidak
ada diskriminasi untuk minoritas.
Dikutip dari BBC, Presiden Jokowi menegaskan tidak perlu melakukan
perubahan terhadap hukum yang ada terkait dengan pertanyaan apakah
homoseksualitas akan dipidanakan di Indonesia seperti yang sekarang sedang
diusahakan oleh beberapa kalangan di Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, jika ada kalangan
minoritas yang terancam, polisi harus melindungi, “Polisi harus bertindak.
Tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapa pun,” ujarnya.
Editor: Nabilla Ramadhian
Komentar
Posting Komentar