Langsung ke konten utama

Hilang

 

Doc: Google


Ini kejadian nyata.

Dulu sekali, tepatnya sewaktu aku masih baru memasuki jenjang Taman Kanak-Kanak. Memang sudah lama, tapi ngeri yang tertinggal masih sangat membekas.

Sebagai latar belakang, bangunan TK-ku berada di sebuah perumahan terpencil. Semua rumah di sana berseberangan menghadap sungai. Rumah-rumah di sana pun mayoritas berdindingkan lapisan semen kasar, dengan keadaan memprihatinkan. Kawasan tersebut benar-benar sepi, dan di antara setiap rumah banyak diselingi petak-petak tanah lapang. Ditambah lagi jalan di sana nyaris tidak pernah dilalui kendaraan, sehingga tidak ada lampu-lampu jalanan.

Kawasan rawan memang. Agak suram malahan. Namun, pemandangan sungai dan naungan pepohonannya cukup menyejukkan di sana. Aku dan teman-temanku di TK itu juga jadi dapat bebas bermain, tidak perlu takut membuat keributan. Banyaknya tempat kosong juga berarti ada banyak pilihan tempat bermain bersama. Menghasilkan kesenangan tersendiri bagi kami semua.

Di depan deretan rumah, di seberang jalan aspalnya, ada batang pohon besar yang digunakan sebagai tempat duduk. Posisinya pas tepat di hadapan sungai, sekaligus di bawah pohon paling besar dan rindang sejauh mata memandang. Cukup sejuk dan nyaman, ditambah semilir angin yang bertiup terus-terusan.

Di sanalah, aku duduk sendiri menunggu mama datang. Teman-temanku semuanya sudah pulang, dan di TK-ku juga sudah tidak ada orang. Setiap mengantarku, mama juga selalu menyuruhku duduk menunggu di situ, jangan kemana-mana, dan jangan mau diajak pergi orang tidak dikenal. Jadilah aku duduk diam saja, menunggu mama datang sambil memeluk tas.

“Dek.”

Aku yang terkejut pun terperanjat, lalu melihat sekitar. Dengan cepat dan agak ketakutan, kutengok kiri dan kanan. Tidak ada apa-apa. Satu-satunya anak-anak di sana juga hanya aku seorang.

“Dek, di sini.”

Saat aku menengok ke belakang, barulah aku menemukan sumber suara.

Ada toko yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Bangunannya tidak besar, namun cantik dengan gaya tradisional khas toko-toko jajanan di Jepang. Ditambah lagi warna cat dindingnya masih berkilau, dan tirai hitam polos panjang yang menjadi pengganti pintu itu masih terlihat cerah. Jelas tampak seperti toko yang baru selesai dibangun. Dengan posisi diapit rumah-rumah yang tak berpenghuni, dan gaya bangunan yang berbeda sendiri, jelas jadi sangat menarik perhatian.

Di depan tirai toko tersebut, ada seorang lelaki muda yang rupawan. Kulitnya putih, rambutnya hitam, dan wajahnya ramah. Senyumnya lebar sekali. Ia mengenakan kaos putih lengan panjang yang digulung sampai siku, dengan celana panjang dan sepatu berwarna sama. Ditambah apron hitam panjang .

“Dek, ayo sini!” Panggilnya dengan semangat, sambil melambaikan tangannya padaku.

Takut-takut, aku pun memakai ranselku dan turun dari tempat duduk. Wajahnya semakin gembira begitu aku sampai di hadapannya. Lelaki itu pun berjongkok dengan kedua tangan di atas lutut. Membuat wajah kami sejajar sebelum lanjut mengajakku bicara.

“Hai,” sapanya singkat. “Sendirian, ya?”

Aku mengangguk.

“Kamu tahu ini toko apa?”

Aku menggeleng.

Ia berdiri dan memegang kedua sisi tirai hitam toko, lalu dengan semangat, disibaklah tirai-tirai tersebut.

Tampak beragam meja penuh mainan. Dari boneka hingga robot-robotan. Ada rak penuh buku, seperti komik, majalah, juga buku cerita bergambar. Di sana juga ada banyak etalase toples penuh permen dan cokelat. Hiasan atapnya dipenuhi gantungan burung origami penuh warna. Hiasan dindingnya ada beragam poster kartun yang aku suka. Sedangkan lantainya dihias karpet bulu warna merah muda.

“Waaaah!” Sahutku gembira melihat berbagai hal-hal menyenangkan di sana.

Lelaki itu tertawa melihatku kegirangan. “Ini toko baruku! Bagus, kan? Ayo masuk!” Serunya sambil mendorong bahuku agar aku masuk ke sana.

Secara refleks, aku menepis tangannya. Kemudian berjalan menjauhinya dan pintu toko. Karena sesenang apapun, aku diajari untuk tidak masuk ke suatu tempat berdua saja, dengan orang yang tidak dikenal. Terlebih lagi tanpa seizin orang tua.

Sepertinya kelakuanku membuatnya terkejut, karena ia sampai membeku di tempat begitu. Namun, kemudian lelaki itu hanya pelan-pelan menoleh dan menatapku, masih dengan ekspresi riang yang sama. “Hey, tidak mau masuk?” Tanyanya.

Senyumnya lebar sekali.

Tahu-tahu ia berlari ke dalam tokonya, kemudian kembali dengan boneka yang sedari dulu aku inginkan. Boneka itu pun disodorkannya padaku. “Kamu suka boneka ini? Aku kasih kalau kamu mau masuk! Ya? Kamu mau masuk, kan?” Tawarnya sambil membiarkanku memegang boneka tersebut.

Mama pasti marah kalau sampai tahu aku diberi barang oleh orang tidak dikenal. Terutama bonekanya berukuran besar, pasti langsung kelihatan. Jadi, kudorong kembali boneka tersebut padanya. “Enggak kak, makasih,” jawabku takut-takut.

Lelaki itu masih bersikeras. “Aah jangan malu-malu! Yuk masuk, kita main bareng! Terus, aku bacakan cerita juga! Kamu suka apa? Cinderella? Nanti aku bacakan, dan kamu boleh sambil makan permen!” Tawarnya lagi sambil meraih tanganku dan berusaha menggeretku masuk.

Tangannya dingin, namun di saat yang sama tidak terasa apa-apa. Seperti angin yang menarik tanganku, namun genggamannya benar-benar kuat.

Panik, aku langsung berusaha melawan. Kupukuli tangannya. Jari-jarinya juga kutarik agar terbuka, dan punggung tangannya pun aku cakar. Syukurlah, akhirnya tanganku dilepas. Tepat sebelum aku menjejakkan kaki masuk ke dalam toko.

“Kakak?”

Kutengok asal suara. Itu mama, yang akhirnya datang menjemputku, menatapku dengan ekspresi heran. Akhirnya datang juga. Tanpa basa-basi, kupeluk mama erat-erat sambil mengubur wajah menangisku di perutnya.

Mama hanya menatapku bingung, kemudian balas memeluk dan mengusap-usap punggungku, “Kamu kenapa? Kok nangis?” Tanyanya khawatir.

Aku berusaha menahan sesegukanku untuk menceritakan semuanya. Namun, baru saja hendak buka suara, aku mendengar suara lelaki itu berbisik di telinga kiriku.

Anak pintar.

Makin ketakutan, tangisku jadi makin tidak terkendali. Meskipun demikian, di sela-sela isak tangis, aku pun akhirnya berhasil mengadu sambil menunjuk ke arah toko. “Kakak-kakak di toko mainan itu ma, dia ngemaksa narik kakak masuk,” aduku tanpa sekalipun mau melihat ke toko itu.

“Toko apa?”

Awalnya, aku kira mama akan langsung memarahi lelaki itu. Sehingga saat mama malah menanyakan hal yang seharusnya sudah jelas, tentu saja membuatku kesal. Aku pun melepaskan pelukanku, “Toko mana lagi ma, itu

Di depanku hanya ada tanah kosong. Tidak ada apa-apa. Toko mainan dan lelaki itu hilang.


Penulis: Annisa Aulia N. S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete