Doc: Google |
Ini salah satu cerita nyata saat aku SD dulu.
Tubuhku lemah dan sakit-sakitan, dan kala itu sedang
musim demam berdarah. Aku yang terjangkit penyakit ini pun mesti diopname di
rumah sakit dekat rumah. Orangtuaku tengah sibuk mengurus adik bayiku, sehingga
aku tidak ditunggui di selama dirawat inap di situ.
Meskipun agak angker dan aku memang sendirian di
kamar rawatku, tapi rumah sakit ini merupakan tempat keluargaku sering berobat.
Di sini pula kedua adikku dilahirkan, dan aku sendiri cukup sering dirawat inap
di sini. Sehingga, suster dan dokter di sini cukup mengenalku dan keluargaku.
Aku sangat dekat dengan para suster di sana. Saat aku
tengah dirawat seperti itu, para suster suka mengajakku makan siang bersama. Biasanya,
setelah itu, aku akan membawa majalahku dan menceritakan apa yang aku baca pada
mereka. Aku juga suka dibelikan cokelat atau kue dari kantin rumah sakit, asalkan
aku tidak begadang dan berlarian di lorong saat malam.
Hal ini karena aku tipe anak yang cukup tidak bisa
diam, ditambah susah-tidur-susah-bangun. Jika sedang sulit tidur, aku suka
keluar kamar tengah malam dan duduk-duduk bersama para suster jaga yang sedang
tidak sibuk. Aku juga suka iseng mengajak mereka ‘bermain’, dengan meminta
mereka menangkapku yang berlarian mengelilingi lantai rumah sakit menggunakan
tiang infus sebagai seluncuran. Saat mereka berhasil menangkapku, aku pasti
akan digendong kembali ke kamar dan ditunggui mereka hingga aku tertidur.
Diingat lagi, barbar benar kelakuanku ini. Tapi aku
tidak melakukannya setiap saat, karena aku takut darahku keluar dan naik ke selang
infusan.
Seperti saat itu. Aku tengah kabur dari kejaran dua
orang suster, yang sebut saja Suster Mawar dan Suster Nana. Sambil berlari setengah
berseluncur, aku berusaha menghindari kedua suster itu. Tahu-tahu aku menyadari
darahku mulai keluar dari infusan. Jadilah aku berhenti sebentar untuk mengatur
napas, selagi menunggu darahku untuk turun kembali memasuki lenganku dari
selang infus.
Krieeeet!
Aku yang tengah memandangi selang infus langsung
mengangkat kepala. Tampaklah pintu kamar rawat di depanku terbuka perlahan-lahan.
Refleks saja, aku langsung mendekati pintu kamar
tersebut dengan maksud ingin menutupnya. Karena para suster suka bercerita
bahwa orang yang menjenguk pasien seringkali lupa menutup pintu. Jadi kupikir
ada yang lupa menutup pintu kamar saja.
Tapi baru saja aku hendak menyentuh gagang pintu,
tahu-tahu aku mendengar suara serak parau seorang kakek-kakek dari dalam. “Siapa
di situ?” Tanyanya.
Kaget, aku pun membuka pintunya sedikit lebih lebar
untuk meminta maaf. Hawa kamarnya panas. Di dalamnya hanya ada satu ranjang
rumah sakit yang tertutup tirai sepenuhnya. Sehingga aku tidak bisa melihat
lawan bicaraku.
“M-maaf, tadi aku liat pintunya kebuka.
Jadi ini mau aku tutup aja, kok. Maaf
ya,” tuturku takut-takut.
Terdengar suara batuk sebelum tirai tersebut
tersibak setengah terbuka. Menampilkan sesosok kakek-kakek dengan … penampilan
yang agak menakutkan. Wajahnya penuh dengan gelembung-gelembung berisi cairan
sebesar telur ayam. Gelembung-gelembung itu cukup banyak, hingga membuat
kepalanya tampak berukuran besar.
“Lhaaaa, anak kecil, ya? Tak kira maling,” ucapnya penuh keheranan. “Sini, masuk.”
Takut dimarahi, aku mau tak mau mengikuti
keinginannya sambil menenteng tiang infusku. Lalu aku meminta maaf lagi. “Maaf
ya kek, aku jangan dimarahin dong,
aku cuma mau nutupin pintu kamar kakek aja
tadi, bukan mau maling,” jelasku ketakutan.
“Eeh enggak,
kakek cuma mau tanya, kamu ngapain jam tiga pagi keliaran di luar?”
Jadilah aku menceritakan semuanya. Dia tertawa dan
tampak sedikit terhibur, sehingga aku tidak setakut sebelumnya. Ia kemudian
menasehatiku untuk tidak terus-menerus merepotkan suster di sini, dan memintaku
untuk segera pergi tidur.
Setelah kembali meminta maaf dan mengucap salam, aku
pun keluar dan menutup pintu kamar sang kakek. Baru saja aku membalikkan badan,
tahu-tahu Suster Mawar menggendongku.
“Ica! Kamu dari mana aja?? Aku sama Suster Nana udah
keliling nyariin kamu, tahu! Kamu
sembunyi, ya??” Cecar Suster Mawar padaku.
Tentu saja aku protes. “Iih Ica enggak sembunyi, suster! Tadi aku liat darahku naik lagi ke selang infus, jadi aku diem dulu. Trus aku liat pintu kamar
itu kebuka, jadi aku tutup, kan. Eeh tau-tau
ada kakek-kakek manggil dari dalem, jadi kita ngobrol bentar sambil akunya minta maaf. Gitu, suster!” Balasku panjang lebar membela diri.
Suster Mawar mengernyitkan dahi dan saling pandang
dengan Suster Nana. Berusaha tersenyum, Suster Nana mengusap kepalaku. “Ica,
kamu ga boleh ya ngeganggu pasien lain. Memangnya Ica tadi abis ngobrol sama pasien kamar yang mana?”
“Sama kakek-kakek dari kamar ini,” ujarku sambil
menunjuk kamar yang tadi kumasuki. “Mang
suster pada ga liat aku habis keluar
dari kamar ini?”
Wajah khawatir dari kedua suster tersebut semakin
jelas. “Yakin ga salah kamar?” Tanya
Suster Mawar.
“Iih, ga
percaya, ya? Sini Ica buktiin! Tolong
turunin Ica dong, suster.”
Setelah diturunkan dari gendongan Suster Mawar, aku
pun membuka pintu kamar rawat kakek itu sambil mengucap permisi. Tirai kasurnya
setengah terbuka seperti saat tadi aku berbicara dengannya, sehingga aku bisa
melihatnya yang tengah tertidur lelap.
Aku pun menunjuk kakek itu sambil menarik-narik
ujung lengan Suster Mawar. “Tuh kakek itu, suster. Aku ga bohong kan,” ucapku setengah berbisik supaya tidak menganggu
kakek yang tengah tertidur.
Suster Mawar tahu-tahu menggendongku dan tiang
infusku sambil setengah berlari menuju kamarku. Disusul Suster Nana. Tampaknya
mereka seperti sangat ingin berlari sekencang mungkin, namun ditahan karena
ingat ini di kawasan rumah sakit.
Kami bertiga masuk ke kamar rawatku. Suster Nana
langsung mengunci pintu, sementara Suster Mawar menempatkanku di tempat tidur,
meletakkan tiang infusku, lalu bergegas menutup tirai jendela kamarku.
Aku jelas bingung ada apa, tapi belum sempat bisa
bertanya apa-apa, kedua suster itu memintaku untuk tidur sekarang juga. Mereka
bahkan menawarkan diri untuk tetap berada di kamarku hingga aku bangun tidur
nanti.
Padahal seharusnya setelah aku tidur, mereka akan
pergi dan bergabung dengan suster jaga di lantai bawah. Tidak seperti biasanya.
Karena kurasa keadaannya cukup serius, jadilah aku menurut. Suster Mawar
mengusap-usap kepalaku, dan Suster Nana membacakan surat-surat pendek untuk
membantuku tidur.
Aku pun tidur dengan nyenyak. Tetapi saat hendak
bangun, sebelum mencoba membuka mata, aku mendengar potongan-potongan percakapan
kedua suster tersebut. Awalnya aku senang, karena mereka benar-benar
menungguiku yang tengah tertidur. Namun yang menjadi masalah, adalah sepotong
kalimat yang kudengar. Saat aku menanyai mereka soal itu pun, keduanya hanya
menyangkal ucapanku.
Potongan yang kudengar dari percakapan Suster Mawar
dan Suster Nana adalah: “Bukannya dia sudah dikremasi?”
Penulis: Annisa Aulia N. S
Komentar
Posting Komentar