Langsung ke konten utama

Tren

Doc. Google

 Ini salah satu cerita nyata saat aku masih SD.

Untuk latar belakangnya, pada saat itu, ada tren untuk menusuk kulit jari dengan jarum, yang mana akan membuat jarum tersebut seakan menempel pada jari. Entah apa namanya.

Kata teman-temanku, caranya mudah saja. Cukup sehati-hati mungkin menekan ujung jari dengan jarum, kemudian ditusukkan pada kulit jari, hingga ujung jarum tersebut keluar. Banyak juga temanku yang bisa menusukkan banyak jarum pentol warna-warni pada satu jari, sehingga tangannya terlihat ‘keren’ penuh dengan jarum.

Hanya saja, kulit tanganku terbilang tipis. Gagal terus saat kucoba melakukannya, sampai jari-jariku suka tampak terkelupas dimana-mana.

Suatu sore, aku dan ketiga orang teman perempuanku bersepeda bersama ke SD ku. Karena di area depan gedung SD, para penjual jajanan masih berdagang hingga maghrib tiba. Dari penjual mainan hingga kue-kue tradisional, semuanya ada. Lalu rencananya, kami akan makan jajanan tersebut di kelas, dan main di lapangan.

Setahuku, para pedagang ini merupakan orang-orang yang tinggal di kampung tepat di belakang gedung SD ku. Maka dari itu, para pedagang di sini suka menetap lebih dari jam pulang anak-anak sekolah, dan gerbang SD ku tidak dikunci. Hanya lab komputer dan ruang guru saja.

Kala itu, aku masih belum lancar mengendarai sepeda. Jadi, salah satu temanku memboncengku untuk pergi ke sana, sementara kedua temanku yang lain menggunakan sepeda mereka masing-masing. Kita panggil saja temanku yang memboncengku itu Naila.

Begitu kami sampai, kami pun berpencar. Lebih tepatnya, membagi tugas memesan jajanan. Aku dan Naila memesan pop ice dan mie di warung depan gerbang sekolah, sedangkan kedua temanku yang lain memesan martabak mini dan cireng di tukang gerobak.

Setelah uang patungan dibagi sesuai pesanan, aku dan Naila pun memarkirkan sepeda di depan warung. Baru juga memesan, tahu-tahu Naila memintaku untuk menemaninya ke toilet sekolah.

Kebetulan, toilet di gedung SD ku terletak dekat dengan gerbang masuk. Hanya terpisah oleh tempat parkir sepeda saja. Izin meninggalkan ibu warung yang sedang membuatkan pesanan kami, Naila pun menggunakan toilet sedangkan aku berdiri menungguinya di depan pintu.

Sambil menunggu, aku mencoba untuk kembali mempelajari tren menusuk jari dengan peniti yang ada di kerudungku. Namun gagal terus-menerus, hingga membuatku menggerutu. Akhirnya kembali kukaitkan peniti tersebut pada kerudung di bagian bawah dagu.

“Kamu ngapain tadi mainan peniti, dek?”

Kaget. Untung saja peniti tersebut sudah terpasang, kalau tidak bisa-bisa aku tertusuk.

Begitu ditengok, tampak seorang lelaki dengan kaos putih dan celana cokelat berdiri di sampingku. Menatapku bingung. Rambutnya kusut, dan penampilannya lumayan kumuh dengan baju kotor bekas tanah dan debu. Mirip penampilan kuli-kuli bangunan, jika kalian butuh perbandingan.

Di salah satu tangannya ada parang dalam genggaman, dan yang satu lagi memegang setandan kecil pisang. Sepertinya ia datang dari dalam kelas di samping toilet ini. Karena tepat di belakang kelas tersebut, ada beberapa pohon pisang yang seingatku sedang berbuah. Orang-orang kampung belakang SD ku suka mengambil pisang di sana, dengan meloncati jendela kelas yang lumayan besar.

Karena kupikir dia hanya orang kampung sana yang mengkhawatirkanku saja, aku pun menjawab. “Ngikut tren aja kak, hehe. Bikin jarum seakan nempel di jari. Tapi aku ga bisa-bisa terus,” jelasku.

“Ooh, gitu,” jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Lelaki itu kemudian meletakkan tandan pisangnya ke lantai, lalu tersenyum. “Kalau cuma itu aja ga menarik, dek. Kurang seru. Nih kakak kasih liat, buat kamu praktekin di depan temen-temen sekolah kamu nanti. Pasti jadi tren, liat ya.”

Kini giliranku yang memasang wajah bingung.

Belum sempat menjawab pun, lelaki itu mengangkat parangnya tepat di depanku. Menunjuk-nunjukkan betapa tajamnya benda tersebut. Layaknya tukang sulap yang hendak mempersembahkan pertunjukkan.

Begitu selesai, kini parang itu ia arahkan pada kepalanya. Lengkap dengan gestur yang memberitahuku bahwa lelaki itu akan menusuk dahinya dengan parang tersebut.

Jleb!

Parang tersebut benar-benar ia tusukkan ke dahinya, yang membuatku reflek mundur karena kaget. Namun, lelaki itu tampaknya baik-baik saja. Tidak ada darah yang keluar. Senyumnya pun tak luntur jua.

Sedikit tertawa-tawa, ia menengok-nengokkan kepalanya. Memperlihatkan kepadaku bahwa ujung parang itu benar-benar menembus masuk, hingga ujung belatinya tampak mencuat di dekat tengkuk.

Pada saat inilah, Naila keluar dari toilet. Masih cukup kaget dengan apa yang kulihat, kupanggil Naila untuk memberitahukannya mengenai ‘pertunjukkan’ yang dilakukan lelaki itu. “Eh Naila! Sini, sini! Liat ni kakak-kakak hebat banget! Dia nusuk piso gede gitu ke kepalanya sampai nembus, tapi ga kenapa-napa!” Sahutku heboh.

Kala itu, aku tidak begitu memerhatikan reaksi Naila, tapi temanku ini hanya ikut melihat kakak itu sejenak, lalu tiba-tiba meraih dan menggenggam tanganku erat-erat.

Aku ingat sekali. Suaranya terdengar kaget dan lumayan heboh sepertiku saat itu. Tapi tangannya yang memegangiku terasa gemetaran.

“Iya kakak hebat bisa begitu! Tapi jajanan kita udah jadi, jadi kita pulang dulu ya kak. Maaf ya, permisi,” pamitnya sambil menunduk sejenak, kemudian menarikku setengah berlari kembali ke warung.

Sekedar catatan, Naila ini punya indera keenam.

Begitu mendengarnya merubah rencana, tentu saja aku diam dan menurutinya. Kami mengambil pesanan di warung, menaiki sepeda, dan langsung mengajak kedua temanku yang lain untuk segera pergi dari sana. Ia meminta kami untuk makan jajanan dan bermain di rumahku saja. Sekalian mengantarku pulang, katanya.

Semua mengiyakan perkataannya, terutama karena memang jarang ia mengatur-atur kami seperti ini. Naila kembali memboncengiku dengan sepeda, disusul kedua anak lainnya. Kayuhan pedal sepedanya cukup terasa terburu-buru, dengan muka serius. Membuat hawa tidak enak selama perjalanan.

Setelah akhirnya sampai di rumahku dan memarkirkan sepeda, kami semua berkumpul di kamarku. Seraya makan jajanan, barulah Naila (yang sudah tampak lebih tenang) menanya-nanyaiku tentang lelaki itu. Seperti apa saja yang dikatakannya padaku, apa yang aku katakan padanya, dan lain sebagainya.

Lega mendengar jawabanku, barulah Naila memberitahu kami, kalau lelaki yang tadi itu bukan manusia. Ia tidak menceritakan pada kami makhluk apa itu atau bagaimana wujudnya, tapi hanya menjelaskan bahwa dia suka menghasut orang. Wujud aslinya seram, dan hawanya juga negatif. Maka dari itu Naila langsung menarik tanganku menjauh dan langsung membawaku pulang. Takut diikuti, tapi syukurlah tidak terjadi.

Dipikir-pikir lagi, tren-tren aneh yang membahayakan diri, bisa saja diawali dari orang-orang yang terhasut makhluk halus seperti tadi. Terutama karena makhluk itu sepertinya berusaha menghasutku yang masih SD untuk menikam kepalaku sendiri. Jadi saranku, jangan sembarangan mengikuti tren, terutama yang jelas berakibat buruk.

 

Penulis: Annisa Aulia N. S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempo Siasati Isu Konvergensi Media

doc. Google Meski sempat dibredel beberapa kali, namun majalah Tempo bangkit kembali dengan karakternya yang khas. Bahasa yang singkat, tidak bertele-tele, headline dan cover majalah yang menarik, semua hal tersebut membuat pembaca ingin membaca lebih dalam mengenai majalah Tempo. Tentunya hasil yang sedemikian rupa memerlukan proses yang tidak mudah pula. Redaktur Pelaksana Sains, Sport & Kolom , Yos Rizal , menerangkan tentang proses produksi majalah Tempo kepada kami, yang datang Jumat (10/10) lalu. D idukung dengan visualisasi slide power point yang sudah disiapkan , Yos Rizal menjelaskannya kepada kami . Proses produksi majalah Tempo hampir tidak jauh berbeda dengan proses produksi pemberitaan di media lain. Dimulai dengan rapat r e d aksi yang membahas tentang usulan mengenai isu apa sajakah yang menarik untuk dibahas, kemudian dilakukan penugasan kepada reporter, setelah itu reporter akan ‘belanja’ berita di lapangan. Setelah mendapatkan informasi di l

Coffee Traveler #2: All About Coffee

dok. pribadi Kedai kopi merupakan hal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat saat ini. Menikmati kopi di kedai kopi langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia masa kini. Semakin berkembangnya zaman, kedai kopi bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk minum kopi saja. Tempat yang nyaman dengan suasana yang nyaman membuat konsumen betah dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan atau meeting point . Journey Coffee merupakan salah satu kedai kopi yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Lokasinya pun strategis yaitu berada dipinggir jalan raya. Kedai kopi ini berdiri sejak tahun 2014. Buka dari jam 10.00 hingga 23.00 WIB pada weekdays dan jam 10.00 hingga 24.00 WIB saat weekend . Fasilitas yang disediakan berupa wifi, toilet serta area parkir. Journey Coffee memiliki 2 lantai, lantai pertama merupakan area atau ruangan bebas asap rokok karena difasilitasi dengan AC dan lantai kedua dikhusus kan untuk smoking area dengan design yang menarik.

Menilik Kelompok Musik Tunanetra di CFD Jakarta

Grup musik disabilitas tunanetra , Smart Voice Kegiatan car free day (CFD) di  Jakarta selalu ramai lalu-lalang warga untuk berolahraga atau sekedar menikmati suasana ibu kota yang penuh gedung pencakar langit tanpa terganggu kendaraan bermotor. Namun, dibalik hiruk-pikuk tersebut, terselip orang-orang yang mengais rezeki dari ramainya suasana. Adalah Smart Voice , sekelompok musisi jalanan ‘unik’ yang biasa menggelar pertunjukan music jalanannya setiap Minggu pagi di kawasan CFD Sudirman, Jakarta. Penyebutan unik bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan seluruh anggotanya yang merupakan warga disabilitas tunanetra. Kelompok musik ini digawangi oleh Nasripan, Ipul, Hendri, Budi, Sumantri, dan Sumirah. Budi  (kanan) dan Sumantri (kiri) anggota  Smart Voice Menurut Sumirah (40) Smart Voice terbentuk pada tahun 2018 lalu. Awalnya karena seluruh anggotanya yang merupakan binaan sebuah panti sosial tunanetra dibilangan Bekasi, Jawa Barat. Disanalah mereka dilatih kete